Oleh : Imam Shamsi Ali*
Sesungguhnya interfaith atau interaksi antar pemeluk
agama di dalam hidup rasulullah SAW sendiri bukan sesuatu yang asing. Kita
diingatkan kembali oleh sejarah isteri pertama beliua, Khadijah R.A, yang
ternyata dari kalangan keluarga kristiani di Mekah. Belakangan ketika Muhammad
SAW menerima wahyu pertama justeru sepupu Khadijahlah (Waraqah bin Naufal) yang
memberikan dukungan moral, bahkan berjanji kelak jika diberikan umur panjang
akan menjadi pengikut Rasulullah SAW.
Yang pasti interfaith atau interaksi Rasul dan pengikut
agama lain bukan dengan seminar atau konferensi maupun ceramah. Tapi dalam
bentuk relasi kehidupan nyata antara rasulullah SAW dan umat beragama
lain.
Sebagian catatan sejarah itu saya sampaikan di bawah
ini:
Pertama,
ketika rasulullah SAW dan pengikutnya mengalami tantangan berat dari pembesar
Mekah, bahkan siksaan yang tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata. Di saat
seperti itu Rasulullah SAW memerintahkan sebagian pengikutnya untuk melakukan
hijrah ke sebuah negeri yang penduduknya beragama Nasrani. Negeri itu adalah
Habasyah atau lebih dikenal dengan Ethiopia saat ini.
Raja negeri itu adalah seorang Nasrani yang sangat
taat. Sangat beragama, santun dan bijak. Raja Najasyi namanya. Beliau
saat itu menerima pengikut Muhammad SAW dan melindunginya, bahkan ingin
mendengarkan penjelasan tentang agama/keyakinan pendatang itu. Pimpinan
pengungsi ketika itu, sepupu Rasulullah SAW Ja'far bin Abi Talib, membacakan
ayat-ayat tentang kehidupan Isa dan Ibunya Maryam AS.
Mendengarkan ayat-ayat itu menjadikan sang raja
meneteskan airmata. Nuraninya tersinari oleh kebenaran ayat-ayat Al-Quran.
Apalagi berkaitan erat dengan hatinya sebagai Kristen yang taat. Sebagian ulama
bahkan mengatakan bahwa secara batin beliau sesungguhnya menerima Islam setelah
mendengarkan ayat-ayat itu.
Hal itu semakin dikuatkan ketika sang raja bahkan
menolak mentah-mentah permintaan pembesar Mekah untuk mengekstradisi kembali
mereka ke kampung asal (Mekah). Beliau seolah mengatakan mereka (pengikut
Muhammad) adalah saudara-saudaraku yang harus dilindungi.
Itulah catatan pertama dalam sejarah Islam yang
tercatat sebagai interaksi publik antara Komunitas Muslim dan Komunitas Kristen
secara terbuka.
Kedua,
jauh sebelum rasulullah SAW hijrah ke Madinah, di kota ini telah menetap selain
komunitas Arab dari suku ‘Aus dan Khazraj juga ada dua komunitas agama lainnya.
Yaitu komunitas Yahudi dan komunitas Nasrani. Kedua komunitas ini memiliki
posisi dan pengaruh terhormat di masyarakat Madinah karena mereka relatif lebih
maju, baik dalam pendidikan maupun ekonomi. Bahkan masyarakat Yahudilah yang
memegang pasar Madinah (Wall Streetnya) saat itu.
Ketibaan rasulullah SAW di Madinah secara alami
menuntut beliau untuk membangun komunikasi, relasi, dan kerjasama dengan semua
komunitas Madinah. Apalagi dalam posisi beliau, selain sebagai seorang nabi dan
rasul, juga sebagai kepala negara. Oleh karenanya baik dalam kapasitas beliau
sebagai pemimpin agama maupun publik (kepala negara) beliau dituntut untuk
membangun komunikasi dengan semua komunitas agama tersebut.
Setelah menyelesaikan pembangunan masjid (Kubah),
penguatan ukhuwah Islamiyah (mempersaudarakan Anshor dan Muhajirun), beliau
lalu membentuk konstitusi negara yang lebih populer dikenal dengan nama Piagam
Madinah. Selain kedahsyatan kontennya yang sangat pro minoritas (non Muslim),
yang juga mengagumkan dari Piagam Madinah ini adalah proses pembentukannya. Di
mana semua elemen-elemen komunitas dilibatkan dalam prosesnya.
Mengingat peristiwa ini terjadi di abad ketujuh Masehi,
di sebuah tempat yang berada di gurung pasir, menambah kekaguman kita bahwa apa
yang dilakukan oleh seorang Muhammad SAW saat itu, menurut ahli sejarah justeru
melampaui batas kemampuan berpikir manusia pada masanya. Ini pulalah yang disebut-sebut
oleh sebagian ahli sejarah sebagai faktor kenapa peradaban tidak lama bertahan
setelah meninggalnya beliau. Menurut para sejarawan, sahabat-sahabat beliau
ketika itu tidak mampu mengemban peradaban yang sangat maju dan canggih itu.
Memang harus diakui bahwa interaksi antara beliau
(Rasulullah) dan masyarakat non Muslim di Madinah mengalami dinamika naik turun
(up and down), bahkan terkadang mencapai titik nadir terendah. Salah satu di
antaranya adalah ketika terjadi pengusiran beberapa kabilah dari kalangan
Yahudi dari Madinah. Pengusiran ini bukan karena dasar keagamaan. Tapi karena
mereka mengkhianati negara (treason) dengan mengkhianati perjanjian mereka
untuk loyal kepada negara Madinah saat itu.
Sebaliknya bahkan beberapa kali rasulullah SAW meminjam
uang dari mereka. Bahkan menganggap minoritas itu sebagai bagian dari umatnya
sendiri (ummati). Lebih jauh lagi beliau menjamin hak-hak ketenangan dan
keselamatan mereka: "siapa yang menyakiti dzimmi atau minoritas non Muslim
dalam masyarakat mayoritas Muslim, maka saya (Muhammad) akan menjadi musuhnya
di hari Kiamat kelak" (hadits).
Ketiga,
di sekitar penghujung tahun ke delapan hijrah di Madinah beliau didatangi oleh
sekelompok warga Kristiani dari kalangan suku Najran (Yaman saat itu). Mereka
secara khusus datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah dan bertanya tentang
posisi Yesus dalam pandangan Islam. Rasulullah SAW menerima mereka dengan baik,
ramah dan dengan memuliakan mereka. Mereka dibenarkan menginap di masjid,
diberikan makanan, bahkan ada catatan sejarah yang mengatakan jika mereka
diizinkan untuk beribadah sesuai keyakinan mereka.
Setelah tiga hari tiga malam melakukan dialog (tanya
jawab atau bahkan debat / mujadalah) mereka tetap pada keyakinan mereka bahwa
Yesus itu anak Tuhan atau Tuhan itu sendiri.
Rasulullah tidak kecewa dan juga tidak marah. Justeru
beliau menawarkan persetujuan untuk saling melindungi, tidak menyerang dan
tidak saling membahayakan. Mereka setuju dan ditanda tanganilah sebuah
kesepakatan yang dikenal dalam sejarah Islam dengan nama "Perjanjian
Nejran" (Negran Treaty).
Itu hanya segelintir catatan sejarah interaksi
Rasulullah SAW dengan non Muslim. Interaksi inilah yang diterjemahkan dalam
dunia modern dengan kata "dialog" antar pemeluk agama. Yaitu
keinginan untuk membangun kerjasama pada hal-hal yang menjadi kepentingan
bersama (common interests), seraya memegang prinsip keyakinan akidah
masing-masing.
Umat Islam pasca kepergian rasulullah SAW terus
melanjutkan tradisi itu. Interaksi komunitas Muslim dengan non Muslim
berlanjut. Salah satu yang tercatat sejarah adalah undangan Umar R.A kepada
masyarakat Yahudi untuk kembali tinggal di kota suci, Jerusalem, setelah mereka
diusir oleh penguasa Kristen Roma.
Umat Islam masuk ke wilayah-wilayah yang dikuasai umat
Kristen tanpa melakukan pengrusakan rumah ibadah, bahkan menjaganya. Contoh
terdekat yang lain adalah sebuah gereja tua di Jerusalem justeru dipelihara
oleh orang Islam. Bahkan kunci gereja itu tetap dipegang hingga hari ini.
Selain karena memang itulah ruh Islam yang toleran,
juga karena itu amanah Al-Quran. Maka jangan heran jika gereja-geraja tua masih
berdiri megah di negara-negara Islam yang dulu dikuasai oleh kekuasaan Kristen.
Hal ini kontras dengan apa yang terjadi di Spanyol misalnya. Masjid-masjid
megah yang dulu dibangun umat Islam, kalau tidak jadi gereja kemungkinan besar
dirubah menjadi night club.
Hubungan yang baik dan ketinggian toleransi Islam
inilah yang menjadi tonggak kebangkitan peradaban Islam di dunia, khususnya di
Eropa.
Sekali lagi, ketika Islam masuk ke sebuah negara maka
Islam tidak pernah menghilangkan hak-hak agama dari orang lain. Itulah yang
pernah terjadi di Eropa, Spanyol, selama hampir 7 abad. Umat Islam berkuasa
tapi mereka yang memilih menganut agama lain, termasuk Yahudi dan Kristen,
tetap bebas menjalankan agamanya. Bahkan ada posisi-posisi pemerintahan penting
juga di pegang oleh mereka.
India pernah berada di bawah kekuasaan Islam. Tapi
hingga hari ini India tetap menjadi Negara Hindu mayoritas. Itu karena ketika
Islam berkuasa, Tuhan melarang pemaksaan masyarakat untuk menerima Islam sebagai
agama mereka. Kalaupun belakangan banyak di antara mereka yang masuk Islam itu
juga bukan karena paksaan. Memaksa orang lain masuk ke agama ini merupakan
penentangan kepada Al-Quran.
Intinya adalah interfaith atau dialog antar komunitas
agama maupun komunikasi dan kerjasama antar pemeluk agama sudah menjadi bagian
dari sejarah Islam itu sendiri. Mengingkarinya adalah pengingkaran kepada
sejarah itu sendiri.
Mungkin tidak salah jika saya katakan bahwa salah satu
sunnah Rasul yang terlupakan oleh Umat ini adalah mempelopori interakasi
positif Dan kerjasama yang baik lintas agama. Tentu sekali lagi pada hal-hal
yang tidak menggadaikan “akidah” dan “identitas” Umat.
Dunia menanti kehadiran Umat untuk berada di garda
depan untuk membangun relasi, komunikasi dan kerjasama harmoni demi mewjudukan
dunia yang tentram, aman dan penuh kedamaian.
Apa saja bentuk Interfaith yang telah dan sedang
dilaksanakan di US untuk mengkounter Islamophobia? Bagaimana pula di dunia
global? (Bersambung)….!
New York, 2 Februari 2022
* Presiden Nusantara Foundation
Tidak ada komentar