nasional Opini Pendidikan Sosial

Ketika Ego Menjadi Tertuduh di Tengah Badai Rumah Tangga._

Mei 06, 2025
0 Komentar
Beranda
nasional
Opini
Pendidikan
Sosial
Ketika Ego Menjadi Tertuduh di Tengah Badai Rumah Tangga._
_

Oleh : Hendy Damanik
Ada kalanya cinta tak cukup untuk menjaga sebuah rumah tangga tetap utuh. Bukan karena cinta itu mati, melainkan karena _ego_ yang tumbuh liar, tanpa kendali, tanpa arah.

Ketika dua jiwa memilih bersatu dalam ikatan suci pernikahan, mereka membawa serta sejarah hidup masing-masing: luka, harapan, prinsip, dan tentu saja—ego. Ia bukan musuh, bukan pula sahabat, tetapi bayang-bayang yang setia mengikuti setiap langkah kita. Dalam momen damai, ego bisa tampak samar. Namun ketika badai datang—ego sering tampil paling bising, paling keras, paling ingin menang.

_Sigmund Freud,_ bapak psikoanalisis, menyebut ego sebagai bagian dari struktur kepribadian yang bertugas menengahi antara keinginan primitif (id) dan suara moral (superego). Di satu sisi, ego menyelamatkan kita dari impuls; di sisi lain, ia sering menjadi benteng kesombongan dan penolakan terhadap kritik.

Ketika konflik rumah tangga muncul, ego sering menjadi tertuduh karena:
- Ia menolak untuk kalah.
- Ia sulit meminta maaf.
- Ia menyamakan “mengalah” dengan “kalah”.
- Ia tak tahan mendengar kenyataan yang berbeda dari pikirannya sendiri.

_Dr. John Gottman_, seorang psikolog keluarga terkemuka, menemukan bahwa salah satu indikator utama runtuhnya rumah tangga adalah "defensiveness"—sikap bertahan yang dipicu oleh ego yang tidak mau disalahkan. Ia berkata, _“Ketika pasangan mulai lebih sering membela diri ketimbang memahami, perceraian tinggal menunggu waktu.”_

Ego tidak buruk—ia perlu untuk menjaga harga diri dan membentuk identitas. Namun, dalam rumah tangga, ego harus tahu kapan berdiri, dan kapan menunduk. Bukan karena takut, tapi karena cinta lebih kuat dari rasa ingin benar.

Psikolog _Carl Jung_ pernah menyatakan, _“Ego adalah ilusi tentang pusat dari keberadaan kita. Ia bukan jati diri, tapi bayangannya.”_ Maka, bila rumah tangga adalah bahtera, ego hanyalah salah satu penumpangnya. Ia tak boleh menjadi nahkoda.

Rumah tangga butuh dua jiwa yang saling menundukkan ego, bukan saling menindih. Sebab pernikahan bukan kompetisi, tapi persekutuan. Tempat di mana “aku” berubah menjadi “kita”.

Ketika badai datang, jangan buru-buru menyalahkan cinta, atau rezeki yang sempit, atau dunia yang kejam. Lihatlah ke dalam: mungkinkah ego terlalu lama memegang kendali?

Karena yang bisa menyelamatkan bukanlah siapa yang menang berdebat, tapi siapa yang berani meminta maaf terlebih dulu—meski tak salah sepenuhnya.

Itulah kematangan. Itulah cinta. Dan di situlah ego menemukan tempat terbaiknya: di bawah kendali hati yang bening dan jiwa yang rela belajar.

Walloohu A'lamu Bisshowaab.
Penulis : Laksda Purn Hendy Damanik
---------------------
Tulisan diatas kuperuntukan buat sahabatku yg sedang melawan badai!

Tidak ada komentar