Oleh : Drs. Abd. Kahar Pattola
Ada suatu ungkapan bahwa “Setiap Masa ada Pemimpinnya dan setiap Pemimpin ada Masanya”, yang mengandung makna bahwa kepemimpinan itu selalu ada, namun dengan karakteristik dan konteks yang berbeda-beda sesuai dengan zamannya, begitu halnya dengan Pahlawan di Kerajaan Bajeng yang pernah memimpin perjuangan melawan Penjajah Belanda diantaranya :
1.
Tarawe Daeng Limpo (Batang
Banoa Mataallo Ri Bajeng).
Pada Tahun 1905,
Raja Gowa Ke – XXXIV Imakkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang berperang
dengan Belanda di kampung Jongaya, namun
pada saat itu, Raja Gowa mengalami kekalahan, sehingga mundur
ke Gunung Sari. Oleh karena Belanda terus mengejar sehingga Raja Gowa mundur
lagi ke Sungguminasa. Selanjutnya ke Mawang hingga ke Pakkatto menyeberangi
Sungai Je’neberang hingga sampai ke Punggawa Kunjung Mange. Pada saat berada di
Rumah Punggawa Kunjung Mange ini, Raja Gowa disembunyikan karena kelelahan
akibat melarikan diri dari kejaran Belanda. Punggawa Kunjung Mange pun mengirim
kurir ke Bajeng untuk menyampaikan keberadaan Raja Gowa kepada Pimpinan Rakyat
Bajeng yaitu Tarawe Daeng Limpo bahwa Raja Gowa berada dan disembunyikan di
Kunjung Mange. Selanjutnya Tarawe Daeng Limpo mengirim beberapa prajurit Tu Barani Bajeng
dan kuda berwarna
putih untuk menjemput
Raja Gowa ke Bajeng.
Sesampainya di Bajeng, Raja Gowa memohon kepada Rakyat Bajeng
yang dipimpin oleh Batang Banoa Mataallo, Batang Banoa Limbung, Batang Banoa
Pammase, dan Batang Banoa Ballo dan berkata “Passirikia
Tu Bajeng Nasaba Naondamma Antu Balandayya Sanggenna Nia’ma Kamma Mae Ri Bajeng”
artinya : Bantulah
kami orang Bajeng karena
kami (Raja Gowa) telah di permalukan oleh Belanda, kemudian
kami dikejar hingga
kami berada disini di Bajeng. Maka berkatalah Tarawe Daeng Limpo Batang
Banoa Mataallo mewakili Rakyat Bajeng “Teaki Lari Karaeng,
Ammantangki Na Siba’ji Taua, Manna La’busu’ Ngasengi Tau Bajeng Tenaja Antu Na
Tattiling Buttayya” artinya : Jangan lari Karaeng (Raja Gowa), tinggallah dan kita akan berperang, meskipun
semua orang Bajeng habis terbunuh, bumi ini tidak akan
miring. Mendengar perkataan dari Batang Banoa Mataallo, Raja Gowa meneteskan
air mata karena terharu menyaksikan kesetiaan dari orang-orang Bajeng kepadanya
saat itu.
Selanjutnya
kentungan, gendang, lesung, dan sebagainya, dipukul untuk mengumpulkan Rakyat Bajeng
untuk berperang melawan
tantara Belanda, kemudian
rakyat berkumpul di area Bungung Barania menyongsong
kedatangan tantara Belanda. Bendera Kerajaan Bajeng yang bernama Jole-Jolea
ditancapkan dekat Bungung Barania. Peperangan pun berlangsung selama 2 (dua)
hari 2 (dua malam), dan mayat-mayat bertumpuk-tumpuk terutama didekat
Jole-Jolea oleh karena Rakyat Bajeng merasa bangga jika mati didekat Bendera Kerajaan
Bajeng yang bernama
Jole-Jolea. Dalam peperangan itu, Pimpinan
Belanda terbunuh,
akan tetapi Batang Banoa Limbung juga wafat. Tarawe Daeng Limpo juga terluka
pada saat itu karena melindungi Raja
Gowa. Selanjutnya tantara Belanda mundur ke Barombong. Untuk memperingati
terbunuhnya Pimpinan Belanda, dibangunlah Tugu atau Monumen dikampung Timpoppo’
dekat Kantor Veteran Bajeng.
2. I Tolo Daeng Magassing (Putera dari Jannang
Parangma’lengu Bajeng).
Seusai peperangan di Mataallo dekat Bungung
Barania pada tahun 1905, Raja
Gowa Ke – XXXIV Imakkulau Daeng
Serang Karaeng Lembang Parang mengundurkan diri bersama rombongannya ke dataran
tinggi Sapaya dan selanjutnya ke daerah Bugis. Pada saat itu, tidak ada lagi
orang-orang dari Kerajaan Gowa yang berani melawan Belanda, terutama turunan
dari Raja-Raja Gowa (pada tahun 1914), namun tampil seorang putera dari Bajeng
bersama dengan kelompoknya yang bernama Pagorra Patampuloa yang berani meneror
Belanda dan merampok orang-orang kaya yang memihak kepada Belanda dan hasil rampokan
tersebut bukan dipakai
dan dinikmati oleh mereka, akan tetapi dibagikan kepada orang-orang miskin.
Keberanian
dan sepakterjang I Tolok Daeng Magassing sangat meresahkan pasukan Belanda dan
juga membuat orang-orang yang memihak Belanda ketakutan. Pada sekitar tahun
1950 s.d sekitar tahun 1970 tahun, keberanian dan keperkasaan I Tolok Daeng
Magassing ini terkenal dan menjadi
legenda, sehingga apabila
ada adegan film pada tahun itu
bahkan sampai dengan
sekarang dimana pemeran utamanya
menunggangi kuda atau muncul
untuk memerangi musuh dalam film tersebut, orang orang secara spontan berteriak
“adami Tolo’na” artinya : jagoannya sudah
datang.
Perjuangan I Tolok
Daeng Magassing berakhir pada tahun 1917, setelah tertangkap oleh Belanda dikampung
Kalampa Kab. Takalar.
I Tolok Daeng Magassaing ditembak
mati oleh Belanda, kemudian
mayatnya diarak keliling kampung dan dimakamkan dikampung Parapa Desa Pa’kabba
Kecamatan Galesong utara Kab. Takalar.
3.
Pattola Daeng Bali (anak
dari Tarawe Daeng
Limpo Batang Banoa Mataallo, cucu dari Kare Manindoro Daeng I Rate Raja Bajeng
ke – 17).
Pada tanggal 09 Agustus 1945 s.d 11 Agustus 1945, setelah Hiroshima dan Nagasaki di Bom Atom oleh Sekutu, maka Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Fukushima pimpinan Jepang yang menguasai daerah Limbung dan sekitarnya, mengajak 37 (tiga puluh tujuh) Anrong Tau untuk mengadakan pertemuan di Balla Lompoa Ri Limbung. Fukushima mengatakan bahwa kami orang Jepang telah kalah oleh Sekutu sehingga kami akan meninggalkan Indonesia, selanjutnya tentunya orang- orang Belanda akan kembali lagi ke Indonesia untuk menjajah Indonesia. Oleh sebab itu, apabila kalian ingin melawan Penjajah Belanda tersebut, maka rebutlah senjata-senjata kami dengan strategi sandiwara.
Pada tanggal
13 Agustus 1945, 37 (tiga puluh tujuh) Anrong Tau Ri Bajeng melaksanakan
kegiatan A’dinging-Dinging Ri Bungung Barania Mataallo, yang betjuan untuk
memantapkan kebulatan tekad
mereka untuk melawan
Belanda apabila nantinya
kembali ke Indonesia untuk menjajah.
Pada tanggal 14
Agustus 1945, tepatnya di Balla Lompoa Ri Limbung, dikibarkanlah bendera Merah Putih oleh Pattola Daeng Bali, mendahului Proklamasi 17 Agustus
1945 di Jakarta, pada saat itu
Bendera Merah Putih dikibarkan oleh Pattola Daeng Bali berdampingan dengan
Bendera Jole-Jolea yang dikibarkan oleh Nuhung Daeng Bani Batang Banoa
Mataallo. Bendera Merah Putih yang dikibarkan oleh Pattola Daeng Bali, terbuat dari kain baju bodo merah yang
dijelujur dengan kain kaci putih dan di jahit
oleh Jumalia Daeng Cowa yang merupakan adik kandung dari Pattola Daeng Bali dan
Nuhung Daeng Bani, dan pada hari itu juga, dibentuk suatu kelaskaran dengan
nama Laskar Gerakan Pemuda Bajeng (LGPB).
Pada malam tanggal
17 Agustus 1945, berangkatlah Pattola Daeng Bali dengan pasukannya yang
berjumlah sebanyak 40 (empat puluh) orang Pemuda, menuju ke markas Jepang
yang berada di Coring dan Bontonompo dengan maksud dan tujuan untuk merampas persenjataan Jepang. Dengan
strategi sandiwara yang telah disepakati, akhirnya Pattola Daeng Bali dengan
pasukannya yang berjumlah sebanyak 40 (empat puluh) orang Pemuda berhasil
merampas semua persenjataan Jepang. Kemudian senjata- senjata tersebut disimpan di rumah Nuhung
Daeng Bani yang merupakan Pemangku
Adat Batang Banoa Mataallo dan Ketua Laskar Gerakan Pemuda Bajeng
(LGPB).
Kemudian dari laporan mata-mata Belanda, gerakan perlawan tersebut tercium sehingga Nuhung Daeng Bani ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda dengan tuduhan membentuk kelompok perlawanan kepada Belanda dan juga menyembunyikan senjata. Pada tanggal 16 Juni 1946, Nuhung Daeng Bani meninggal didalam penjara akibat penyiksaan oleh Belanda yang dialaminya, sehingga posisi Ketua Laskar Gerakan Pemuda Bajeng (LGPB), diambil alih oleh Pattola Daeng Bali yang merupakan adik kandung dari Nuhung Daeng Bani.
Pattola Daeng
Bali menghimpun para pemuda yang tergabung dalam Laskar Gerakan Pemuda Bajeng
(LGPB) untuk melakukan perlawanan kepada Belanda dengan strategi Perang
Gerilya, yaitu menyerang pada malam hari dan bersembunyi di siang hari.
Markasnya pun berpindah-pindah tempat. Pada tahun 1947, karena gencarnya
operasi dari Tentara Belanda,
maka Pattola Daeng
Bali diserahi tugas baru oleh Pimpinan LAPRIS yaitu sebagai Ketua Lipan Bajeng bagian Limbung dan Gowa,
dengan markas yang selalu
berpindah-pindah tempat untuk emngelabui dari Tentara Jepang. Pattola Daeng
Bali bersama dengan 2 (dua) kelompok pejuang yang dipimpinnya, terus melakukan
perlawanan kepada Belanda, sampai kepada penyerahan Kedaulatan pada tahun 1949.
Pada tahun 1950, Pattola Daeng Bali diundang oleh Presiden Soekarno ke
Istana Negara di Jakarta bersama dengan para pejuang di seluruh Indonesia.
Sepulangnya dari Jakarta, Pattola Daeng Bali diangkat menjadi Kepala Distrik
Koordinator Limbung dengan gelar Karaeng Limbung. Pattola
Daeng Bali juga merupakan Raja Bajeng Ke-18 (delapan belas).
Pattola Daeng Bali
wafat pada tahun 1979, oleh karena infeksi pada luka dibagian perutnya akibat
terkena peluru dari Tentara Belanda pada saat Tentara Belanda menyerang secara
tiba-tiba di Markas Pejuang Lipan Bajeng pada tahun 1948 didaerah Polong
Bangkeng Takalar, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Penulis : Drs. Abd. Kahar Pattola (Raja Bajeng XIX)
Tidak ada komentar