Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah Sumatra (khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) pada akhir November hingga Desember 2025 telah menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar tahun ini. Meskipun intensitas hujan yang dipicu oleh Siklon Tropis Senyar sangat ekstrem, para pakar dan data lapangan menunjukkan bahwa penebangan hutan di kawasan hulu merupakan faktor kunci yang memperparah skala kerusakan tersebut.
Tragedi ini menjadi peringatan keras bahwa keberlangsungan ekosistem hutan di Sumatra bukan hanya isu lingkungan, melainkan menyangkut keselamatan ratusan ribu nyawa manusia.
1. Hilangnya Fungsi Hidrologis Hutan
Penebangan hutan secara masif menghilangkan kemampuan alami alam untuk menyerap air hujan. Akar pohon yang seharusnya berfungsi sebagai penahan tanah dan penyerap air (infiltrasi) kini telah hilang, menyebabkan air hujan langsung menjadi aliran permukaan (run-off) yang deras menuju sungai. Hal ini memicu luapan air yang sangat cepat dan destruktif di pemukiman warga.
2. Temuan Pembalakan Liar dan Kayu Gelondongan
Satu bukti nyata dari aktivitas penebangan adalah temuan ribuan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang menghantam rumah-rumah warga. Aparat penegak hukum dan Kementerian Kehutanan saat ini sedang melakukan penyelidikan mendalam terhadap dugaan illegal logging atau pembalakan liar di beberapa titik hulu sungai.
- Di Sumatera Barat, deforestasi dilaporkan mencapai lebih dari 28.000 hektare sepanjang tahun 2025.
- Pemerintah telah menyegel setidaknya 5 lokasi pembalakan liar yang diduga kuat menjadi pemicu utama banjir bandang tersebut.
3. Dampak "Dosa Ekologis" di Hulu
Peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut bencana ini sebagai akumulasi dari "dosa ekologis" di kawasan hulu. Selain penebangan kayu secara ilegal, alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan monokultur (seperti sawit) dan area pertambangan juga turut andil dalam merusak tata kelola air alami. Tanah yang sudah gundul menjadi sangat rentan longsor, membentuk bendungan alami yang ketika jebol memicu banjir bandang sedahsyat bom waktu.
4. Langkah Pemerintah dan Penegakan Hukum
Menanggapi krisis ini, Kementerian Kehutanan telah mengambil langkah tegas:
- Penghentian sementara pengangkutan kayu di seluruh daratan Sumatra untuk memverifikasi keasaman dan mencegah peredaran kayu ilegal.
- Investigasi 12 perusahaan yang diduga menyalahgunakan hak kelola hutan dan berkontribusi pada kerusakan lingkungan di wilayah terdampak.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengonfirmasi bahwa terdapat 12 subjek hukum (terdiri dari korporasi dan pemegang hak atas tanah) yang tengah diselidiki terkait dugaan penyalahgunaan hak kelola hutan yang memperparah banjir di Sumatra. Hingga saat ini, pemerintah belum membuka seluruh daftar nama perusahaan tersebut kepada publik karena alasan proses hukum yang masih berjalan.
Berdasarkan perkembangan investigasi per Desember 2025, beberapa rincian yang telah teridentifikasi meliputi:
- Penyegelan dan Penghentian Operasional: Sejauh ini, sedikitnya 4 perusahaan telah disegel dan dihentikan operasionalnya oleh Kementerian Lingkungan Hidup karena diduga kuat berkontribusi langsung pada bencana tersebut.
- Identitas Terindikasi: Beberapa nama yang muncul dalam proses investigasi dan pengawasan intensif di wilayah Sumatra Utara (khususnya sekitar aliran Sungai Batang Toru dan Garoga) antara lain:
- PT Toba Pulp Lestari (TPL): Salah satu titik penyegelan dilakukan di wilayah konsesi perusahaan ini.
- PT Agincourt Resources: Operasional tambang emas Martabe milik perusahaan ini diberhentikan sementara sejak 6 Desember 2025 untuk fokus pada dukungan korban bencana dan audit lingkungan.
- Individu Pemegang Hak Tanah: Terdapat tiga subjek hukum individu yang lokasinya turut disegel, yaitu dengan inisial J.A.M., A.R., dan D.P..
- Sektor Usaha: Ke-12 entitas ini mencakup berbagai sektor, mulai dari pertambangan, perkebunan sawit, hingga pembangkit listrik.
Penertiban izin pengelolaan hutan merupakan langkah krusial untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial. Tanpa tata kelola izin yang ketat, hutan sering kali menjadi objek eksploitasi berlebihan yang memicu krisis ekologi dan konflik agraria.
Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa penertiban izin pengelolaan hutan sangat mendesak untuk dilakukan:
1. Perlindungan Ekosistem dan Mitigasi Bencana
Hutan berfungsi sebagai penyangga kehidupan yang menjaga kualitas air, kesuburan tanah, dan menyerap emisi karbon untuk mitigasi perubahan iklim. Kurangnya penertiban menyebabkan:
- Penyebab Bencana Alam: Deforestasi akibat izin yang serampangan menjadi pemicu utama banjir bandang dan tanah longsor karena hilangnya akar pohon penyerap air.
- Degradasi Lahan: Penebangan tak terkendali mengakibatkan tanah menjadi gersang dan kehilangan nutrisi.
2. Penegakan Hukum dan Kepastian Investasi
Pemerintah baru-baru ini memperketat regulasi melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Penertiban ini bertujuan untuk:
- Memberantas Kejahatan Kehutanan: Mengidentifikasi perusahaan perkebunan atau pertambangan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan.
- Optimalisasi Pendapatan Negara: Memastikan semua pemegang izin memenuhi kewajiban membayar denda dan pajak (IPBPH) sesuai aturan.
- Sanksi Tegas: Melakukan evaluasi hingga pencabutan izin bagi perusahaan yang tidak memenuhi standar pengelolaan sosial dan lingkungan.
3. Perlindungan Hak Masyarakat Adat dan Lokal
Banyak kawasan hutan merupakan tempat tinggal masyarakat adat. Penertiban izin yang transparan diperlukan untuk menghindari perampasan tanah oleh korporasi.
- Prinsip FPIC: Penertiban harus memastikan adanya persetujuan awal tanpa paksaan (Free, Prior, and Informed Consent) dari masyarakat setempat.
- Keadilan Sosial: Mengembalikan lahan yang sebelumnya disita atau dikelola secara sepihak kepada rakyat sebagai sumber penghidupan.
4. Transformasi ke Multiusaha Kehutanan
Melalui kebijakan terbaru, izin pengelolaan hutan kini diarahkan ke skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang bersifat multiusaha.
- Tidak hanya fokus pada hasil kayu, tetapi juga jasa lingkungan, wisata alam, dan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
- Skema ini memastikan pemanfaatan hutan dilakukan secara lebih bijaksana dan berkelanjutan.
Andi Amien Assegaf, Penulis adalah aktivis HAM
dan pemerhati masalah lingkungan
.jpeg)
.jpeg)
Tidak ada komentar