Oleh Armanto Laberese :Pemerhati Budaya
Tolaki
Beberapa hari terakhir ini di Sulawesi Tenggara, Jagat media sosial Facebook diramaikan dengan viralnya kasus penghinaan dan pelecehan terhadap Suku Tolaki. Salah satu diantara pemilik akun yang dimaksud baru saja menyelesaikan permohonan maafnya secara Adat Suku Tolaki yang difasilitasi dan dimediasi oleh Lembaga Adat Tolaki (LAT) pada Selasa, (01/09/2020).
Penyelesaian yang dimaksud dilakukan melalui Prosesi adat yang dikenal dengan istilah PEKINDORO'A atau Pengampunan hidup. Namun entah mengapa diluar jagad maya sana justru yang berkembang liar dan dieksploitasi publik adalah Prosesi adat MOSEHE WONUA.
Apakah ini Salah Kaprah atau kekhilafan?
Satu hal yang pasti adalah hal ini dapat menimbulkan distorsi kebudayaan Tolaki yang keluar dari konteksnya.
Mosehe Wonua merupakan suatu ritual adat Suku Tolaki yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun lalu di wilayah hukum adat orang Tolaki.
Mosehe Wonua saat ini telah mengalami pergeseran nilai, Baik dari sisi persyaratan (alat dan Bahan) maupun beberapa hal yang dinilai bertentangan dengan norma-norma khususnya norma Agama yang tumbuh dimasyarakat.
Berdasarkan fungsinya, Mosehe Wonua memiliki dua fungsi utama, yang pertama adalah untuk "Menolak Bala" dan yang kedua untuk "penyelesaian konflik"
(DR. Erens Koodoh)
Pada fungsi Menolak Bala, Mosehe dilakukan apabila terjadi Anomali pada suatu Negeri yang sedang dilanda petaka. Misalnya Gagal Panen yang terus menerus, Serangan Hama dan Penyakit yang sangat masif, dan Bencana alam yang sangat mengancam.
Hal ini diakibatkan oleh perbuatan manusia yang sudah kelewat batas dalam mengeksploitasi alam atau terjadi perbuatan perzinahan sehingga dinilai telah mengotori suatu Negeri yang menyebabkan alam menjadi murka (mosalaki ne 'ombu). Oleh karena itu dilakukanlah ritual 'Mosehe Wonua' untuk menyucikan kembali Negeri yang telah kotor akibat ulah kesalahan manusia.
Fungsi yang kedua adalah sebagai media dalam menyelesaikan konflik paling akhir. Dikatakan sebagai fungsi khusus dalam solusi konflik paling ahir yang dilakukan secara khusus, karena ritual Mosehe Wonua tidaklah berdiri sendiri melainkan harus dimulai dengan prosesi adat "Mombetudungako Osara" sebelum dilanjutkan pada tahap akhir yaitu Mosehe Wonua.
Dalam pandangan Masyarakat suku Tolaki, semua jenis konflik dapat diselesaikan melalui prosesi adat Mosehe Wonua. Baik itu Konflik antara dua individu misalnya adanya Sumpah Serapah yang pernah diucapkan (mombe'otudari), maupun Konflik dalam skala besar yang melibatkan banyak orang seperti konflik antar kampung yang berlangsung secara masif, (Adjemain Soroambo, M.Sos)
Berdasarkan penjelasan diatas, dalam Prosesi Adat "Mosehe Wonua" terdapat adanya kesalahan makna Mosehe itu sendiri yang dalam waktu yang sama Publik berasumsi bahwa Prosesi adat Mosehe Wonua sebagai "Sanksi adat tertinggi" bagi pelanggar adat tersebut, padahal tidak. Maka dipandang perlu mengedukasi publik agar tidak ikut larut dalam mendistorsi Adat dan Tradisi yang sudah lama berlaku pada masyarakat Adat Suku Tolaki.
Adapun "Sanksi adat tertinggi" yang berlaku pada pelanggar adat 'Lia Sara' dalam kasus pelecehan Tolaki di media sosial Facebook tersebut, akan lebih tepat disebut sebagai Adat 'Pekindroro'a' atau Pengampunan Hidup, Sebagaimana tradisi yang berlaku pada Masyarakat Tolaki.
Pekindoro'a merupakan salah satu ritual adat yang dilakukan guna memberikan maaf kepada pelaku yang telah melakukan kesalahan fatal.
Tolaki
Beberapa hari terakhir ini di Sulawesi Tenggara, Jagat media sosial Facebook diramaikan dengan viralnya kasus penghinaan dan pelecehan terhadap Suku Tolaki. Salah satu diantara pemilik akun yang dimaksud baru saja menyelesaikan permohonan maafnya secara Adat Suku Tolaki yang difasilitasi dan dimediasi oleh Lembaga Adat Tolaki (LAT) pada Selasa, (01/09/2020).
Penyelesaian yang dimaksud dilakukan melalui Prosesi adat yang dikenal dengan istilah PEKINDORO'A atau Pengampunan hidup. Namun entah mengapa diluar jagad maya sana justru yang berkembang liar dan dieksploitasi publik adalah Prosesi adat MOSEHE WONUA.
Apakah ini Salah Kaprah atau kekhilafan?
Satu hal yang pasti adalah hal ini dapat menimbulkan distorsi kebudayaan Tolaki yang keluar dari konteksnya.
Mosehe Wonua merupakan suatu ritual adat Suku Tolaki yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun lalu di wilayah hukum adat orang Tolaki.
Mosehe Wonua saat ini telah mengalami pergeseran nilai, Baik dari sisi persyaratan (alat dan Bahan) maupun beberapa hal yang dinilai bertentangan dengan norma-norma khususnya norma Agama yang tumbuh dimasyarakat.
Berdasarkan fungsinya, Mosehe Wonua memiliki dua fungsi utama, yang pertama adalah untuk "Menolak Bala" dan yang kedua untuk "penyelesaian konflik"
(DR. Erens Koodoh)
Pada fungsi Menolak Bala, Mosehe dilakukan apabila terjadi Anomali pada suatu Negeri yang sedang dilanda petaka. Misalnya Gagal Panen yang terus menerus, Serangan Hama dan Penyakit yang sangat masif, dan Bencana alam yang sangat mengancam.
Hal ini diakibatkan oleh perbuatan manusia yang sudah kelewat batas dalam mengeksploitasi alam atau terjadi perbuatan perzinahan sehingga dinilai telah mengotori suatu Negeri yang menyebabkan alam menjadi murka (mosalaki ne 'ombu). Oleh karena itu dilakukanlah ritual 'Mosehe Wonua' untuk menyucikan kembali Negeri yang telah kotor akibat ulah kesalahan manusia.
Fungsi yang kedua adalah sebagai media dalam menyelesaikan konflik paling akhir. Dikatakan sebagai fungsi khusus dalam solusi konflik paling ahir yang dilakukan secara khusus, karena ritual Mosehe Wonua tidaklah berdiri sendiri melainkan harus dimulai dengan prosesi adat "Mombetudungako Osara" sebelum dilanjutkan pada tahap akhir yaitu Mosehe Wonua.
Dalam pandangan Masyarakat suku Tolaki, semua jenis konflik dapat diselesaikan melalui prosesi adat Mosehe Wonua. Baik itu Konflik antara dua individu misalnya adanya Sumpah Serapah yang pernah diucapkan (mombe'otudari), maupun Konflik dalam skala besar yang melibatkan banyak orang seperti konflik antar kampung yang berlangsung secara masif, (Adjemain Soroambo, M.Sos)
Berdasarkan penjelasan diatas, dalam Prosesi Adat "Mosehe Wonua" terdapat adanya kesalahan makna Mosehe itu sendiri yang dalam waktu yang sama Publik berasumsi bahwa Prosesi adat Mosehe Wonua sebagai "Sanksi adat tertinggi" bagi pelanggar adat tersebut, padahal tidak. Maka dipandang perlu mengedukasi publik agar tidak ikut larut dalam mendistorsi Adat dan Tradisi yang sudah lama berlaku pada masyarakat Adat Suku Tolaki.
Adapun "Sanksi adat tertinggi" yang berlaku pada pelanggar adat 'Lia Sara' dalam kasus pelecehan Tolaki di media sosial Facebook tersebut, akan lebih tepat disebut sebagai Adat 'Pekindroro'a' atau Pengampunan Hidup, Sebagaimana tradisi yang berlaku pada Masyarakat Tolaki.
Pekindoro'a merupakan salah satu ritual adat yang dilakukan guna memberikan maaf kepada pelaku yang telah melakukan kesalahan fatal.
Tidak ada komentar