Oleh : Dodi Karnida
1. Jumat (09/12/2022) pkl.07.31 wib masuk WA dari seorang penyiar RRI Makassar yg saya kenal. Dia menyampaikan bahwa dirinya “minta statement sedikit soal hari HAM 2022”. Pkl. 07.33 berikutnya dia menelpon saya dan baru saya buka WA tersebut beberapa jam kemudian. Mungkin teman di RRI Makassar menyangka bahwa saya masih menjabat sebagai Kepala Divisi Keimigrasian pada Kanwil Kemenkumham Makassar. Jika toh saya masih menjabat, sebenarnya yg lebih tepat dihubungi ialah pemangku tugas masalah Hak Asasi Manusia (HAM) itu ialah Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM dan atau Kakanwil Kemenkumham.
Pada akhirnya komunikasi saya dengan penyiar tersebut tidak pernah terjadi dan jikapun terjadi, pernyataan saya mungkin sebagai berikut : 1. kiranya Kementerian Hukum dan HAM untuk lebih cermat lagi dalam menghargai HAM para pegawainya sendiri khususnya yg bertugas di daerah. Saya yakin Kemenkumham sudah menghargai HAM para pegawainya sesuai dengan ketentuan (kepegawaian) yg berlaku misalnya dalam hal pelaksanaan tugas di luar jam/hari kerja seperti early morning passport services, sunset passport services, weekend passport services dan lain-lain; 2. para pejabat pusat diharapkan agar lebih sensitif lagi jika akan berkunjung ke daerah khususnya jika ada Hari Kejepit Nasional (Harpitnas). Misalnya hari Jumat merupakan hari libur nasional, kadang ada pejabat yg melakukan kunjungan pada hari Rabu dan Kamis dan kemudian berada di daerah tersebut sampai hari Sabtu. Hal seperti ini bagi pegawai yg bertugas di suatu daerah dan berjauhan dari keluarganya, biasanya akan merasa kurang nyaman. Pegawai daerah yg bermaksud untuk menemui pasangan dan anak keturunannya tidak berhasil menikmati hak asasinya seraya mewujudkan kewajiban asasinya terhadap pasangan dan keluarganya karena terhalang dengan adanya kunjungan pejabat dari pusat. Kondisi seperti ini menjadikan serba salah bagi pejabat yg bertugas di daerah walaupun sebenarnya pejabat pusat itu biasanya menyampaikan ketidakberatannya jika ada pejabat daerah yg mau pulang kampung. Saya tetap berkeyakinan bahwa dalam 2 kondisi di atas, hal-hal yg berkaitan dengan HAM pegawai, tetap mendapatkan penghargaan Kemenkumham secara proporsional.
2. Dalam salah satu koran nasional pada tahun 2014 (pada masa Denny Indrayana sebagai Wakil Menkumham), saya pernah membaca berita apreasiasi pemohon paspor terhadap salah seorang pegawai Kantor Imigrasi Jakarta Selatan yg sejak subuh, sebelum pkl.05.00 wib telah hadir mengatur berkas/antrian para calon pemohon paspor (saat itu belum ada sistem antrian digital/aplikasi antrian permohonan paspor M-Paspor). Pegawai itu mendapat pujian atas dedikasinya tetapi saya sempat berpikir, apakah tidak ada HAM pegawai yg dilanggar jika hal tersebut berlaku setiap hari ? Tapi itu cerita dulu yg berbeda dengan cerita sekarang. Beberapa hari lalu,
Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas I Khusus Non Tempat Pemerikasaan Imigrasi (TPI) Jakarta Selatan telah meraih penghargaan Unit Penyelenggaraan Pelayanan Terbaik Sarana dan Prasarana Ramah Kelompok Disabilitas di lingkup Kemenkumham. Penghargaan ini merupakan Penganugerahan Bersama Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi yg diselenggarakan oleh Kemenpan RB khususnya dilakukan oleh Deputi Bidang Pelayanan Publik dengan Direktorat Jenderal HAM Kemenkumham. Pada tanggal 28 November – 3 Desember 2022, kanim ini membuka Pekan Layanan Keimigrasian Ramah HAM sebagai bagian dari rangkaian Peringatan Hari HAM ke-74 sedunia yg biasa diperingati pada setiap tanggal 10 Desember.
3. Kondisi pelayanan paspor di luar jam/hari kerja seperti di atas hampir sama terjadi ketika saya menjabat sebagai Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Kanim Surabaya mulai tahun 2009. Saat itu ada kebijakan terbaru dari Kerajaan Saudi Arabia (KSA) bahwa paspor haji yg selama ini dikeluarkan oleh Departemen Agama (Depag), dinyatakan tidak berlaku karena semua Calon Jemaah Haji (CJH) dari seluruh dunia harus memegang paspor kebangsaan (Paspor RI yg dikeluarkan oleh kantor imigrasi). Kebijakan tersebut, secara otomatis membekukan eksistensi paspor haji sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan 33 UU.9/1992 tentang Keimigrasian, Pasal 17 dan 24 UU.17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji serta Pasal 23 (1) Keputusan Menteri Agama No. 371/2022 tentang Penggunaan Paspor Haji.
Oleh karena adanya ketentuan baru KSA tentang keharusan penggunaan paspor kebangsaan tersebut dan kemudian respon Departemen Agama RI yg lambat karena mereka masih berkutat, berargumentasi, mempertahankan paspor haji, maka ketika mereka telah sadar setelah Pemerintah Saudi Arabia menyatakan bahwa ini merupakan kedaulatan negara mereka sepenuhnya, waktu penerbitan paspor semakin mepet. Dalam sisa waktu yg demikian itu, akhirnya imigrasi menjadi sasaran untuk direpotkan karena harus menerbitkan ratusan ribu paspor dalam waktu singkat. Saat itu, berulang kali saya menghubungi Ibu Kepala Bidang Pelayanan Haji Kanwil Departemen Agama Jawa Timur untuk segera mengirimkan berkas permohonan CJH, namun ia tetap bertahan untuk tetap menunggu keputusan final Depag yaitu tidak menggunakan paspor melainkan menggunakan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP 1 lembar) yg biasa diterbitkan oleh imigrasi untuk keadaan darurat. Jika pemerintah KSA akhirnya menyetujui penggunaan SPLP ini, bukan juga merupakan sesuatu yg mudah karena harus ada tahapan birokrasi yg dilalui oleh imirasi guna mencetak ratusan ribu SPLP dimaksud.
Pada akhirnya Depag mengalah dan tahapan proses persiapan pemberangkatan CJH harus belok terlebih dahulu ke kantor imigrasi yaitu dalam rangka menerbitkan ratusan ribu PPRI di seluruh Indonesia. Dalam proses penerbitan paspor yg harus diselesaikan dalam waktu segera karena harus memenuhi jadwal permohonan visa dan lain-lainnya, saya menduga ada pelanggaran terhadap HAM pegawai yg terjadi antara lain sebagai berikut :
a. penerbitan paspor di hampir seluruh kantor imigrasi (kanim) di Indonesia khususnya di kanim yg di wilayah kerjanya terdapat ratusan ribu calon jemaah haji (CJH) dilakukan pelayanan yg melebihi ketentuan jam pelayanan/di luar hari kerja dan itu bisanya bersamaan dengan tibanya bulan suci ramadhan. Saya oleh almarhum Bpk. Djoni Muhammad (Kakanim) ditunjuk sebagai kordinator pelayanan haji di Kanim Surabaya yg wilayah kerjanya luas dan jumlah CJHnya puluhan ribu, sesekali mengabaikan kesempurnaan kewajiban asasi saya dalam beribadah dan harus tega melihat para pegawai khususnya ibu-ibu yg tidak melaksanakan kewajiban asasinya untuk menyiapkan dan menyajikan makanan/minuman berbuka puasa bagi suami dan anak-anaknya, melaksanakan ibadah sunnah sholat tarawih dan tadarus karena kelelahan setelah tenaganya terkuras oleh kegiatan pelayanan paspor CJH yg hampir tidak mengenal waktu baik dilakukan di kanim sendiri maupun yg dilakukan secara jemput bola di kantor Depag Kabupaten/Kota;
b. Saat itu juga, Ditjen Imigrasi menerapkan kebijakan prioritas pelayanan bagi para CJH (membuka loket sendiri) yg dengan kebijakan ini seolah terdapat pelayanan masyarakat yg dibedakan. Sebagai seorang muslim, tentu saya kurang nyaman dengan kebijakan ini tetapi karena ini merupakan “tragedi” nasional dalam rangka penghapusan paspor haji yg diterbitkan Depag, maka kebesaran hati masyarakat Non CJH yg pelayanannya sedikit dikesampingkan, harus kita berikan apresiasi.
4. Bagaimana halnya penghargaan atas HAM pegawai imigrasi yg bertugas di Bandara Internasional yg terbuka selama 24 jam seperti halnya di Bandara Soekarno-Hatta dan Ngurah Rai. Saya meyakini bahwa HAM mereka sudah dipenuhi sedemikian rupa dan terus menerus disempurnakan disesuaikan dengan ketentuan yg berlaku. Misalnya kesejahteraan mereka dipenuhi secara normatif agar tidak terjadi hal-hal yg tidak diinginkan karena beban mereka lumayan besar. Sebagai contoh biaya transportasi ke bandara (apalagi jika tidak terdapat kendaraan antar jemput) dan biaya konsumsi di bandara yg tarifnya pasti lebih mahal daripada di luar bandara.
5. Selanjutnya, siapakah yg harus peduli dengan HAM para WNI di luar negeri yg tidak memiliki paspor RI seperti halnya para Buruh Migran Indonesia (BMI) dan para keturunannya ? Dalam hal ini tentu negara harus hadir dan selama ini juga sudah sering hadir. Direktorat Jenderal Imigrasi sudah sering mengirim tim pelayanan paspor bagi para BMI Bermasalah (BMIB) di luar negeri termasuk di KJRI Jeddah yg masih berlangsung saat ini. Malah terdapat fasilitas Nol Rupiah (gratis) dalam penerbitan SPLP bagi BMIB yg akan kembali ke Indonesia yg tentu saja kebijakan ini didasarkan pada ketentuan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PBNP) yg diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 28/2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yg berlaku pada Kementerian Hukum danm HAM. Khusus tentang keberadaan para BMI dan keturunannya yg tanpa paspor di Malaysia, pemerintah sebaiknya lebih cermat lagi dan melakukan kajian mendalam apakah HAM mereka khususnya para anak BMI atas kepemilikan paspor dan hak-hak dasar atas pendidikannya merupakan tanggungjawab pemerintah Indonesia sepenuhnya ? Majikan yg baik tentu akan memikirkan atau setidaknya membantu mencari solusi atas masalah administrasi dan hak atas pendidikan yg dihadapi para pekerjanya (BMI dan keturunannya). Sejauh ini pihak pemerintah dan majikan di Malaysia sepertinya hanya terbatas untuk memberikan izin pendirian sekolah bagi para anak TKI dimaksud, sedangkan anggaran pendidikan (honor guru, transportasi dan atau akomodasi guru dllnya) ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah kita. Sudah saatnya pemerintah kita melakukan diplomasi menekan terhadap pemerintah dan atau para majikan tersebut agar hak-hak dasar atas pemenuhan administrasi dan pendidikan anak keturunan TKI itu dapat ditanggung bersama supaya kita memiliki kedudukan sejajar dengan pemerintahan negeri seberang itu. Pemerintah seberang dan para majikan itu sudah banyak mendapatkan keuntungan ekonomi bertahun-tahun di atas cucuran keringat bahkan darah para pejuang devisa tersebut, sehingga sudah saatnya untuk berbagi menanggung pemenuhan HAM para WNI dimaksud apalagi anak-anak BMI yg telah dipenuhi pendidikannya itu selanjutnya akan menjadi tenaga kerja bagi para majikan dimaksud.
6. Bagaimana sikap Imigrasi jika Jessica Stern (JS) utusan khusus Presiden Joe Biden dalam memajukan HAM LGBTQI+ yaitu Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer dan Interseks+, akan datang ke Indonesia ? Queer sendiri merupakan istilah baru yaitu payung untuk minoritas yg bukan heteroseksual, heteronormatit atau biner gender. Teori queer ini merupakan teori yg membahas mengenai ketidakjelasan identitas seseorang. Menurut teori ini, identitas bukanlah sesuatu yg tetap. Dalam memaknai identitas dapat ditentukan dengan memaknai performastivitas perbincangan lesbian, performativitas penampilan dan fisik serta aktivitas seksual. Kita harus bersyukur bahwa JS urung datang ke Indonesia (disampaikan tertulis oleh Sung Kim Dubes Amerika di Indonesia, 02/12/22) setelah adanya penolakan kuat dari berbagai kelompok masyarakat seperti MUI, Muhammadiyah dan NU. Jika ternyata JS tetap memaksakan untuk datang ke Indonesia dalam mempromosikan HAM LGBTQI+ itu (mohon maaf, HAM dimaksud seperi HA Binatang atau bahkan binatang malah tidak melakukan hal seperti itu); imigrasi yg memiliki fungsi “sebagian dari tugas penyelenggaraan negara di bidang pelayanan dan perlindungan masyarakat, penegakan hukum keimigrasian serta fasilitator penunjang pembangunan ekonomi nasional”, saya yakini akan melakukkan tindakan penolakan kedatangan (denied entry/NTL, Not To Landing). Penolakan mendarat terhadap JS merupakan pengejawantahan fungsi imigrasi melindungi masyarakat Indonesia yg memiliki dasar negara Pancasila khususnya sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
7. Bagaimana sikap imigrasi untuk menghargai kepentingan masyarakat yg pada suatu waktu memerlukan dua buah paspor? Sebagai contoh kecil misalnya seorang CJH dari Papua Barat ialah seorang BMI, dosen terbang, pengusaha, ahli pengeboran minyak, penerima beasiswa atau berprofesi lainnya. Suatu saat ia harus berada di luar negeri misalnya di Papua New Guinea untuk melakukan pengobatan di luar negeri atau melakukan kegiatan yg telah diperjanjikan dan memiliki nilai ekonomi/strategis yg luar biasa sementara paspornya sedang dalam proses pengurusan visa oleh Kemenag di Kedubes KSA. Apakah imigrasi akan diam saja dan menyerahkan sepenuhnya masalah tersebut kepada Kemenag?
Menurut hemat saya, sudah saatnya imigrasi memikirkan hak asasi masyarakat seperti itu dengan cara mengkaji lebih mendalam lagi kemungkinan dikeluarkannya kebijakan penerbitan 2 (dua) buah paspor sejenis kepada WNI seperti itu. Menurut pemahaman saya, penerbitan Dokumen Perjalanan RI (DPRI) sejenis itu dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) jika terdapat unsur memiliki atau menggunakan secara melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf d UU.6/2011 tentang Keimigrasian. Dengan demikian, jika pemilikan dan penggunaannya tidak dilakukan secara melawan hukum, maka pemegangnya tidak dapat dipidana bahkan kebijakan itu sangat menguntungkan masyarakat maupun imigrasi sendiri. Bagi masyarakat misalnya konglomerat A atau buruh B telah memiliki paspor Nomor X berlaku 5 tahun sampai tahun 2027 tetapi paspornya tertahan beberapa minggu di suatu kedutaan karena ada gangguan sistem penerbitan visa ditambah liburan nasional negaranya, tetiba A harus menandatangani kontrak proyek bernilai trilyunan di Singapura dan proyek itu banyak menyerap tenaga kerja kita atau misalnya B harus segera dibawa berobat ke Kuching, maka A dan B itu tidak usah terpaku dengan Paspor Nomor X karena dia telah memiliki paspor Nomor Y yg diperolehnya secara tidak melawan hukum. Dengan kebijakan pemilikan dua paspor seperti itu, hak asasi A dan B untuk melakukan perjalanan ke luar negeri tidak terkendala dan dapat dipenuhi negara sepenuhnya. Bagi imigrasi sendiri, tentu PNBPnya akan semakin bertambah karena beberapa orang WNI telah membayar PNBP sebanyak 2 kali. Soal pengendalian atau pengawasan atas penggunaan dua DPRI sejenis yg sama-sama masih berlaku itu, saya kira tidak sulit untuk membangun sistemnya;
8. Dalam kasus lain misalnya seorang C BMI profesional, BMI tenaga kasar atau mahasiswa yg tinggal dan berkegiatan di Sarawak. Pada bulan Mei 2023 ia harus menyerahkan paspornya ke Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan guna pengurusan visa ke KSA sehubungan C yg asal Kabupaten Bone tersebut termasuk dalam daftar CJH untuk melakukan kewajiban asasinya menunaikan perjalanan ibadah haji. Bagaimana sikap KJRI Kuching atau Kemenag Sulsel terhadap pemenuhan atas hak asasi C tersebut ? Tetap negara harus hadir dan tidak boleh berdiam diri atas permasalahan yg dialami WNI seperti itu.
Bagaimana jalan keluarnya? a. Apakah C itu harus mengirimkan paspornya ke keluarganya di Bone untuk diserahkan kepada Kanwil Kemenag? Jika ini dilakukan, apakah mungkin C bisa tinggal dan berkegiatan di Sarawak tanpa memegang paspor ? b. Apakah C harus merelakan menjadwal ulang kewajiban asasinya menunaikan ibadah hajinya ? c. Ataukah C harus pulang ke Indonesia dan meninggalkan Sarawak selama sekitar 90 hari sehubungan dengan keperluan proses permohonan visa dan menunaikan ibadah haji? Untuk mendapatkan solusi terbaik bagi WNI seperti itu agar HAM mereka dapat dipenuhi oleh negara, yg saat ini hadir dalam pikiran saya, solusi terbaiknya adalah kepada setiap WNI dalam keadaan tertentu dapat diterbitkan DPRI sejenis yg keduanya masih berlaku. Jika hal ini dapat diwujudkan, saya menganggap bahwa negara telah benar-benar hadir memenuhi HAM masyarakatnya. * (Dodi Karnida HA, Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulawesi Selatan Tahun 2020-2021)
1 komentar