Oleh: Dodi Karnida
Keimigrasian adalah hal ihwal lalulintas orang yg masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Demikian bunyi Pasal 1 angka 1 UU.6/2011 tentang Keimigrasian. Selanjutnya pada angka 3 disebutkan bahwa fungsi keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam rangka memberikan pelayanan keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat. Adapun penjelasan Pasal 1 ayat 3 berbunyi “Fungsi keimigrasian dalam ketentuan ini adalah sebagian dari tugas penyelenggaraan negara di bidang pelayanan dan perlindungan masyarakat, penegakan hukum keimigrasian serta fasilitator pembangunan ekonomi nasional”.
Di dalam Pasal 1 angka 1 di atas terdapat kata orang yg menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya ada sebanyak 10 (sepuluh). Artinya antara lain manusia (dalam arti khusus), rakyat (dari suatu negara), manusia yg berasal dari atau tinggal di suatu daerah (desa, kota, negara dan sebagainya) dan karena (sebenarnya). Dalam suatu perkacapan contohnya ‘mana dapat membayar, orang belum gajian’.
Yang dimaksud kata orang dalam definisi keimigrasian di atas itu ialah manusia, rakyat dari suatu negara atau manusia yg berasal dari atau tinggal di suatu daerah dan orang itu berstatus Warga Negara Indonesia (WNI) atau orang asing.
Masih menurut Pasal 1, dalam angka 9 disebutkan bahwa yg dimaksud dengan orang asing adalah orang yg bukan WNI. Artinya orang asing terdiri atas Warga Negara Asing (WNA) dan orang yg tidak memiliki status kewarganegaraan sama sekali (stateless, apatride).
Siapa yg harus tampil terdepan jika ada orang asing yg menceroboh wilayah kedaulatan Indonesia seperti manusia perahu Rohingnya yg sudah sering masuk ke wilayah Naggroe Aceh Darussalam (NAD) ?
Dalam salah satu media internasional (Senin, 9/1/22) diinformasikan bahwa sebanyak 184 pengungsi Rohingya terdampar lagi di Aceh. Kali ini mereka menyandarkan kapal di bibir pantai Kuala Gigeng Lamnga, Kecamatan Krueng Raya, Aceh Besar, Minggu (8/1) sore. Jumlah Imigran Rohingya itu terdiri dari 69 laki-laki, 75 perempuan, dan 40 anak-anak. "Hasil penghitungan bersama yang disaksikan pihak UNHCR, IOM, TNI, dan instansi terkait lainnya, jumlah mereka yang terdampar adalah 184 orang," kata Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Joko Krisdiyanto kepada wartawan.
Jika kita perhatikan secara seksama, ada istilah yg prematur, yg terburu-buru dikeluarkan oleh media internasional dalam narasi tersebut di atas yaitu istilah pengungsi Rohingnya. Menurut hemat penulis, istilah pengungsi Rohingnya itu dapat diterapkan jika secara sahih bahwa manusia perahu itu telah mendapatkan status resmi dari lembaga internasional urusan pengungsi yaitu United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) Indonesia. Jika belum ada pengesahan dari UNHCR, kita harus bersikap hati-hati karena sekali kita menyentuh mereka apalagi membawanya ke wilayah yurisdiksi Indonesia baik itu wilayah laut apalagi darat, itu artinya kita harus bertanggungjawab untuk mengurusi mereka sampai tuntas.
Sampai saat ini penulis masih tetap berpendapat bahwa mereka ialah manusia perahu Rohingnya bukan pengungsi Rohingnya. Oleh karena itu ketika mereka memasuki wilayah yurisdiksi atau wilayah perairan Indonesia, menurut hemat penulis, mereka merupakan orang asing yg melanggar kedaulatan RI antara lain melanggar Pasal 8 dan 9 UU. No.6/2011 tentang Keimigrasian dan UU. No.17/2006 tentang Perubahan Atas UU No.10/1995 tentang Kepabeanan. Kedua UU tersebut memiliki kedaulatan terbatas pada Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) yaitu sejauh 200 mil laut dari titik terluar wilayah territorial sebagaimana diatur di dalam Putaran Uruguay 1980, United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) dan konvensi internasional lainnya.
Selama ini, respon kita terhadap para manusia perahu Rohingnya yg memasuki wilayah yurisdikdi perairan kita, dapat dikatakan gercep, gerak cepat atas dasar kemanusian walaupun sebenarnya mereka merupakan orang-orang yg telah melakukan pelanggaran terhadap hukum Indonesia yg berlaku. Masyarakat, media massa dan aparat juga seolah kompak menyebut, mendefinisikan bahwa mereka (manusia perahu itu) ialah Pengungsi Rohingnya, padahal sekali lagi penulis sampaikan bahwa menurut penulis penyebutan itu tidak tepat sama sekali karena ciri pengungsi itu harus memiliki keterangan tertulis dari UNHCR yg menunjukkan bahwa seseorang itu berstatus pengungsi. Jika tidak memiliki kartu pengungsi dari UNHCR, mereka bukan pengungsi sehingga harus tunduk kepada undang-undang keimigrasian yg berlaku.
Adapun respon yg harus kita lakukan terhadap para manusia perahu itu, menurut hemat penulis adalah sebagai berikut :
1. Instansi yg berwajib untuk mengamankan wilayah perairan harus mengusirnya sebelum mereka memasuki wilayah kita;
2. Jika sudah memasuki wilayah kita, yg harus tampil terdepan ialah instansi yg bertanggungjawab atas penanganan lalulintas orang asing dan lalulintas barang internasional. Selama belum ada hasil verifikasi dari UNHCR dalam bentuk pemberian kartu pengungsi kepada manusia perahu itu, maka selama itu pula para orang asing itu harus didetensi untuk menunggu tindakan pendeportasian ke negaranya.
Sejak terbitnya Perpres No.125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri (PPDLN), respon kita terhadap para manusia perahu itu dapat dikatakan tidak tepat karena dasar hukum yg digunakan untuk penanganannya adalah Perpres itu padahal mereka kan belum berstatus sebagai pengungsi. Oleh karena respon yg dilakukan oleh kita selama ini selalu menarik mereka memasuki wilayah peraiaran dan bahkan daratan Indonesia, maka mungkin Perpes No.125/2016 ini dapat kita katakan sebagai gula Indonesia yg dicari oleh para “semut” pengungsi intenasional.
Selain gula Perpres tersebut di atas, gula lainnya adalah keberadaan UNHCR dan IOM di Indonesia. Namun demikian, kita juga tidak mudah untuk menihilkan keberadaan kedua lembaga internasional itu dari bumi pertiwi.
Mungkin yg harus kita rapihkan agar carut marut gelombang kedatangan manusia perahu itu, agar potensi gelombang kedatangan mereka semakin berkurang atau bahkan hilang sama sekali, maka langkah-langkah yg sebaiknya segera diambil antara lain pembaharuan atas :
1. Memory of Undestanding (MOU) antara UNHCR dengan Pemerintah RI yg dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Luar Negeri.
Adapun materi MOU yg menurut penulis harus diperbaharui antara lain :
a. kewenangan mandiri UNHCR menentukan seseorang itu sebagai pengungsi harus diubah menjadi kewenangan kolektif yaitu antara UNHCR dan Pemerintah Indonesia yg salah satunya adalah instansi imigrasi. Adalah carut marut atau pelcehan terhadap peraturan perundang-undangan imigrasi ketika ada seorang atau sekelompok orang asing pemegang izin tinggal dari imigrasi baik berupa Izin Tinggal Kunjungan (ITK), Izin Tinggal Terbatas (ITAS) atau Izin Tinggal Tetap/Permanent Residence) tetapi juga memiliki juga Kartu Pengungsi dari UNHCR;
b. pertukaran informasi terkait jumlah, keberadaan dan kegiatan setiap pengungsi yg berada di wilayah Indonesia. Data dan informasi yg sangat penting adalah data Pengungsi Mandiri (PM) yaitu mereka yg memasuki wilayah Indonesia legal dan memiliki izin tinggal yg sah dari Imigrasi; kemudian mereka mendapatkan status pengungsi dari UNHCR. Keberadaan dan kegiatan PM ini penting untuk diketahui dan diwaspadai oleh instansi terkait di Indonesia agar mereka dapat dilumpuhkan pada titik imajiner sebelum mereka melakukan kegiatan yg membahayakan kedaulatan negara kita. Bayangkan bahwa PM yg memiliki profensi yg bermacam-macam seperti jurnalis internasional atau ahli teknologi informasi yg memiliki potensi akan merobek kedaulatan kita, datanya hanya ada pada Tuhan dan pada UNHCR, tidak ada di imigrasi, di kepolisian atau di pemerintah daerah;
c. Peninjauan kembali atas kegiatan UNHCR mengumpulkan dana untuk pengungsi baik secara online maupun langsung dari masyarakat Indonesia karena kegiatan yg terbuka ini merupakan "gula" lainnya yg akan mengundang calo & calon manusia perahu untuk beroperasi dan bergerak menuju wilayah Indonesia. Kegiatan pengumpulan simpati yg mengarah ke kegiatan pengumpulan dana dari masyarakat ini beberapa kali penulis saksikan dan dokumentasikan sendiri baik di stasiun Sudirman Jakarta maupun di Stasiun Tangerang pada tahun 2022 lalu. Adapun pengumpulan dana secara online, dilakukan UNHCR di dalam websitenya yg kadang-kadang sambil memberitakan kedatangan manusia perahu tersebut ke wilayah Indonesia. Kepada Satpol PP DKI Jakarta maupun Kota Tangerang, kiranya kegiatan seperti di stasiun kereta itu dapat dicermati secara mendalam dan kalau perlu ditindak sesuai dengan peraturan daerah yg berlaku.
2. Perpres 125/2016 agar bisa lebih komprehensif lagi dan memiliki efek jitu mengurangi bahkan meniadakan gelombang arus pengungsi menuju wilayah Indonesia.
Kembali ke istilah Pengungsi yg digunakan oleh media massa dan masyarakat di daerah yg didampiri manusia perahu itu, bisa saja kira memiliki pemikiran bahwa media massa dan beberapa elemen masyarakat itu bagian dari gelombang kedatangan manusia perahu itu.
Masih dalam pemberitaan media internasional tersebut, terdapat informasi bahwa berdasarkan analisis Kemenlu, imigran Rohingya itu awalnya terkonsentrasi di kamp pengungsian di Bangladesh. Namun, lokasi itu saat ini sudah kelebihan kapasitas. Banyak pengungsi kemudian berupaya mencari suaka ke Malaysia lewat kelompok-kelompok kecil atau sindikat perdagangan manusia. Pengungsi Rohingya itu rela membayar sejumlah uang untuk bisa melakukan perjalanan lewat laut dengan tujuan utama ke Malaysia. Di atas kapal, mereka dibekali alat GPS yang langsung terkoneksi ke sejumlah lembaga internasional, baik itu LSM maupun kedutaan besar. "Mereka punya koneksi dan jaringan di Aceh. Mereka dipandu dengan GPS. Indonesia ini jadi lokasi mereka sementara. Mereka melakukan drop out lalu mereka diselundupkan ke Malaysia oleh kelompok-kelompok kecil," kata Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) Kemlu RI, Achsanul Habib, saat rapat dengan DPR Aceh, Rabu (4/1).
Semoga para pejabat dari instansi terkait dengan pengungsi ini dapat dengan gerak cepat membangun sistem pencegahan kedatangan manusia perahu memasuki wilayah Indonesia secara ilegal, melecehkan hukum yg berlaku dan mengancam kedaulatan negara kita.
(Dodi Karnida HA. KEpala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulawesi Selatan 2020-2021)
Tidak ada komentar