Oleh : Dodi Karnida
Dalam keterangan Kabid Humas Polda Aceh Senin (26/12/22), Kombes Pol Winardy menyampaikan bahwa jumlah imigran Rohingya yang terdampar di pesisir pantai Desa Ujong Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, sebanyak 185 orang. “Terdiri dari 83 laki-laki dewasa, 70 wanita dewasa, dan 32 anak-anak". Saat ini para imigran itu sudah dievakuasi ke aula Gampong (Desa) Gampong Ujong Pie untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. “Diberi pengobatan bagi yang sakit, difasilitasi oleh Muspika dan pihak puskesmas setempat,” ujarnya.
Para imigran tersebut mendarat di pesisir pantai Desa Ujong Pie, Senin (26/12/22) sekitar pukul 17.00 WIB. Mereka langsung turun dari kapal dan berlari ke arah bibir pantai. "Perlu segera adanya koordinasi lintas sektoral untuk menyelesaikan masalah Rohingya ini, mengingat pendaratan mereka di Aceh makin sering," ungkapnya.
Sehari sebelumnya, 57 Imigran Rohingya juga mendarat di Aceh tepatnya di pesisir pantai Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Berdasarkan pengakuannya, mereka terpaksa mendarat di Aceh setelah terombang-ambing selama satu bulan di laut akibat mesin kapal rusak. Sebanyak 57 orang dan semuanya laki-laki, oleh Dinas Sosial Kabupaten Aceh Besar ditempatkan untuk sementara waktu tinggal di menasah milik UPTD Rumoh Seujahtra Beujroh Meukarya Ladong Tuna Sosial.
Masih menurut Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Winardy, kapal bernama FB Tarikul Islam 2 yang mengangkut para pengungsi itu dalam kondisi kehabisan stok makanan terdampar ke pesisir Desa Ladong karena dibawa angin setelah mengalami kebocoran di lambung kanan.
Langkah pemerintah setempat diapreasiasi oleh LSM KontraS Aceh yg aktif memantau keberadaan pengungsi dimaksud dan demikian juga dengan beberapa organisasi kemanusiaan seperti IOM, Yayasan Geutanyoe, KontraS Aceh, JRS, dan YKMI langsung merapat ke lokasi. Minggu (25/12/22) lalu, santer diberitakan tentang sebuah kapal yang mengangkut pengungsi yang mendekat ke kawasan perairan Aceh, namun lembaga kemanusiaan meyakini bahwa kapal yang terdampar di Ladong adalah kapal lain.
Jika beritanya seperti itu, dapat diartikan bahwa kemungkinan masih banyak kapal pengangkut pengungsi yg berlayar di perairan Indonesia yg pada kesempatan tertentu mereka berharap terdampar di daratan Indonesia.
Mengapa mereka berharap demikian ? Mungkin mereka atau para pengatur perjalanannya sudah mengetahui bahwa jika terdampar di perairan atau daratan Indonesia tidak akan diusir bahkan akan diperlakukan secara manusiawi.
Terkait dengan kedatangan pengungsi internasional di atas, regulasinya diatur di dalam Peraturan Presiden No.125/2016 Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri (PPLN) yg pada tanggal 31 Desember 2022 ini telah berlaku efektif selama 6 tahun.
Di dalam Perpres itu antara lain diatur tentang :
1.Menteri Polhukam sebagai kordinator perumusan kebijakan yg meliputi a. Penemuan b. Penampungan c.Pengamanan dan d. Pengawasan Keimigrasian (Pasal 1 angka 5 jo Pasal 4);
2. Penemuan pengungsi dalam keadaan darurat di perairan wilayah Indonesia dikordinasikan dan dilaksanakan oleh lembaga yg menyelenggarakan urusan di bidang pencarian dan pertolongan (Pasal 5);
3. Lembaga pada Pasal 5, melaksanakan operasi pencarian dan pertolongan terhadap kapal yg diduga berisi pengungsi yg melakukan panggilan darurat (Pasal 6);
4. Operasi pencarian dan pertolongan melibatkan instansi antara lain TNI, POLRI, Kementerian Perhubungan, Badan Keamanan Laut dan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian terkait lainnya yg melaksanakan tugas di perairan wilayah Indonesia (Pasal 7);
5. Pengungsi yg ditemukan dalam keadaan darurat segera dilakukan tindakan berupa : a. memindahkan pengungsi ke kapal penolong jika kapal akan tenggelam; b. membawa ke pelabuhan atau daratan terdekat jika aspek keselamatan nyawa pengungsi dalam keadaan terancam c. mengidentifikasi pengungsi yg membutuhkan bantuan medisgawat darurat d. menyerahkan orang asing yg diduga pengungsi kepada rumah detensi imigrasi di pelabuhan atau daratan terdekat (Pasal 9).
Jika kita perhatikan sebagian dari ketentuan di atas, sepertinya kita sangat ramah terhadap mereka para pengungsi tersebut baik mereka dalam keadaan darurat maupun dalam keadaan tidak darurat karena sepanjang pengetahuan saya, selama ini tidak ada rombongan pengungsi seperti di atas yg diusir untuk keluar dari wilayah Indonesia. Dalam kalimat lain dapat dinyatakan bahwa 100 kapal pengungsi yg datang, sebanyak itulah mereka diizinkan masuk ke wilayah Indonesia termasuk ribuan orang para pengungsinya.
Kondisi seperti ini pasti sudah dipelajari dengan cermat oleh pihak-pihak yg biasa mengambil keuntungan dari para pengungsi yg ingin meninggalkan daerah yg ditempati sebelumnya yg biasanya berupa daerah yg bermasalah baik kondisi sumber daya alamnya yg minim maupun kondisi sosial kemasyakaratan dan atau ancaman atas jiwa raganya. Oleh karena itu, hampir dalam setiap bulan berita tentang kedatangan pengungsi yg terdampar di perairan Indonesia itu seolah tidak berhenti dan selanjutnya mereka menimbulkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan, ekonomi dan keamanan/kedaulatan Indonesia.
Di pihak lain, United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) yg merupakan badan PBB untuk urusan pengungsi yg telah memiliki beberapa kantor di Indonesia, mungkin telah lama bergerilya di tengah masyarakat untuk melakukan kampanye/sosialisasi kepada masyarakat guna mendukung kehadiran para pengungsi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kegiatan tersebut telah beberapa kali saya pergoki sendiri dalam beberapa waktu yg berbeda tepatnya di halaman stasiun Sudirman-Jakarta Pusat dan stasiun kereta Kota Tangerang. Kegiatan yg dilakukan oleh UNHCR tersebut dapat dipastikan bahwa hal itu sangat berpihak kepada pengungsi sepenuhnya walaupun pada awalnya para petugas UNHCR itu hanya meminta tandatangan masyarakat untuk mendukung kehadiran pengungsi di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan UNHCR akan melangkah lebih jauh lagi misalnya mengumpulkan sumbangan guna mendukung para pengungsi itu. Hal seperti ini tentu akan menjadi pemacu daya tarik para calon pengungsi untuk dapat hadir berkunjung ke wilayah Indonesia yg dikenal sangat ramah itu.
Bagaimana tendesi aliran pengungsi tahun 2023 ? Insha Allah akan lebih baik karena Ditjen Imigrasi akan memiliki pimpinan yg definitif. Jika Bapak Silmy Karim nanti telah menjabat sebagai Dirjen Imigrasi, tentu pada saatnya akan melaksanakan serah terima jabatan dengan Prof. Widodo PLT Dirjen Imigrasi yg juga merupakan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Dalam memori serah terima jabatan tersebut dipastikan masalah peran UNHCR, IOM dan keadaan pengungsi internasional yg diperkirakan jumlahya saat ini lebih dari 13.000 orang dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia, akan menjadi materi permasalahan yg diserahterimakan juga.
Permasalahan pengungsi internasional ini perlu menjadi perhatian Direktur Jenderal Imigrasi yg baru karena selain jumlahnya bertambah banyak sebagai akibat sering adanya pengungsi (khususnya Rohingnya) yg menyatakan diri terdampar dan kemudian masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal, juga proses penempatan (resettlement) mereka dari Indonesia ke negara ketiga jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah kedatangan pengungsi baru itu.
Jumlah data pengungsi internasional yg berada di seluruh wilayah Indonesia, hanya UNHCR dan Tuhan lah yg tahu. Mengapa demikian ? Karena sepemahaman saya, penentuan seseorang menjadi seorang pengungsi yg ditandai dengan diterbitkannya surat keterangan sebagai pengungsi atau kartu pengungsi; hanya UNHCR sendiri secara mandiri yg memprosesnya. UNHCR tidak pernah melibatkan imigrasi, Kementerian Luar Negeri ataupun Kemenko Polhukam dan oleh karenanya data jumlah pengungsi di antara instansi tersebut tidak pernah sama. Biasanya data UNHCR jumlahnya lebih banyak karena dalam data mereka termasuk data pengungsi mandiri (PM) dan data anak para pengungsi yg lahir di Indonesia.
Terkait dengan PM ini, seorang pengungsi bisa menjadi PM setelah melalui proses misalnya 1. seorang asing pemegang izin tinggal resmi dari imigrasi seperti pemegang Izin Tinggal Terbatas (ITAS 1 tahun) atau pemegang Izin Tinggal Kunjungan (ITK) atau 2. Orang asing yg masuk/tinggal secara ilegal di Indonesia. Mereka mendatangi UNHCR dan biasanya kemudian UNHCR akan mengesahkan orang asing tersebut sebagai pencari suaka/pengungsi setelah melakukan verifikasi. Mereka yg disahkan UNHCR itu disebut sebagai pengungsi mandiri (PM) karena segala kebutuhan selama di Indonesia (akomodasi, transportasi, kesehatan dll) ditanggung sendiri, tidak dibiayai oleh IOM.
PM ini bisa tinggal di manapun juga dan bisa berkegiatan apapun juga. Mereka biasanya tinggal di kota besar dan berprofesi macam-macam. Ada yg wiraswasta, ada yg menekuni usaha online dan bahkan menjadi reporter internasional yg setiap detik dapat mengirimkan berita terkait apapun tentang Indonesia ke media internasionalnya.
Ketika saya masih bertugas di Kanwil Kemenkumham Sulawesi Selatan tahun 2021, saya berkesempatan untuk mengawal ke Medan seorang pengungsi perempuan Rohingya yg tinggal di Makassar yg telah mahir berbahasa Indonesia (selain bahasa Inggris, Arab, dan Urdu serta Afganistan karena bersuamikan pengungsi asal Afghanistan), ketika transit di Bandara Soekarno-Hatta, bergabung juga seorang pengungsi Rohingya laki-laki yg telah pandai berbahasa Indonesia dan Inggris. Mereka berdua diminta bantuannya oleh UNHCR untuk menjadi penterjemah puluhan pengungsi Rohingya yg memasuki wilayah Aceh. Dalam perjalanan menuju Medan itu, pengungsi Rohingya laki-laki yg membawa laptop dan berpenampilan necis itu, seolah menjauhkan diri dari saya dan ternyata diketahui kemudian bahwa dia PM tinggal di wilayah Bogor dan berprofesi sebagai jurnalis internasional.
Para pengungsi pemegang “kartu sakti” yg diterbitkan UNHCR itu, jika tertangkap oleh aparat apapun, pasti akan menunjukkan kartu dimaksud dan aparat imigrasi biasanya tidak dapat menerapkan hukum keimigrasian sepenuhnya karena terkendala dengan adanya ketentuan internasional tentang perlakuan terhadap pengungsi. Namun demikian, bagi aparat yg berwajib lainnya, tidak ada halangan sama sekali untuk menerapkan secara penuh ketentuan hukum yg menjadi tugas dan fungsinya. Mungkin saja seorang pengungsi itu terbukti secara sah melanggar suatu aturan hukum misalnya melanggar lalulintas, mencuri atau menipu, tetapi setelah ia menjalankan hukuman pidananya, kita tidak dapat mendeportasikannya, tidak dapat mengusir untuk kembali ke negaranya. Hal ini terjadi karena kita menghormati “prinsip non-refoulement yang mengatur bahwa negara tidak boleh mengirim kembali para pengungsi dan pencari suaka ke tempat di mana nyawa mereka terancam, termasuk mendorong mereka kembali ke laut” walaupun negara kita bukan negara imigran atau bukan pihak yg menandatangani Protokol 1951 tentang Pengungsi. Negara kita bukan pihak yg terikat atas protokol itu yg isinya antara lain menyediakan sarana/bantuan bagi para pengungsi.
Kembali disampaikan bahwa dasar hukum penanganan pengungsi internasional di Indonesia saat ini, adalah berupa MOU antara UNHCR dengan Pemerintah Indonesia yg diwakili oleh Kemenlu dan juga Peraturan Presiden No.125/2016 tentang PPDLN. Kita berharap bahwa Dirjen Imigrasi yg baru nanti, juga dapat mempelajari MOU dan Perpres 125/2016 dimaksud dan kalau perlu, mengusulkan untuk dilakukan pembaharuan misalnya terkait dengan akses data jumlah dan keberadaan pengungsi serta kegiatan penangangan pengungsi di lapangan sehingga kritikan dari PLT. Dirjen Imigrasi Prof. Widodo beberapa waktu lalu kepada UNHCR dan IOM terkait dengan penolakan masyarakat atas kehadiran pengungsi Rohingnya di Lheukseumawe, tidak terjadi lagi.
Jika kita membuka website UNHCR, maka di sana ada kolom donasi. Ini artinya anggaran operasional maupun anggaran kegiatan UNHCR selain dibiayai oleh PBB atau pemerintah, juga berasal dari masyarakat. Tidak aneh jika saya pada waktu yg berbeda sering melihat para anak muda yg memakai rompi biru UNHCR aktif meminta tandatangan dukungan masyarakat di depan area Stasiun Sudirman Jakarta Pusat dan pernah juga beberapa orang melakukannya di sekitar Stasiun Kereta Kota Tangerang. Sambil meminta tandatangan, mereka melakukan sosialisasi penanganan pengungsi dan mungkin kemudian mereka meminta bantuan keuangan. Kata salah seorang pejabat imigrasi di Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta yg saya kenal, terdapatnya kegiatan pengumpulan dana tersebut sudah didiskusikan dalam suatu rapat kordinasi dengan unsur Pemda DKI Jakarta dan pihak Kesbangpol menyatakan bahwa kegiatan dimaksud tidak dibenarkan. Namun saya mendapatinya lain karena ketika Kamis (24/11/2022) sekitar pkl.10.15 wib saya sempat mengabadikan momen petugas yg memakai rompi biru UNHCR dengan leluasanya meminta tandatangan terhadap salah seorang calon penumpang commuter line untuk mendukung kegiatan UNHCR dan mungkin akan langsung dirayu untuk menjadi donator UNHCR baik sebagai donator sementara maupun tetap.
Sebagai purnabhakti imigrasi, penulis menyarankan kepada Bapak Direktur Jenderal Imigrasi untuk antara lain menginiasi pembaharuan atas :
1. Perpres 125/2016 supaya di dalamnya terdapat ancaman yg membuat nyali para pengungsi yg masih ada di luar sana, khawatir memasuki wilayah Indonesia dan juga menegaskan kembali bahwa Rumah Detensi Imigrasi bukan tempat untuk menampung pengungsi. Ketegasan dimaksud selalu dilakukan oleh Australia yg walaupun sudah meratifikasi Protokol Pengungsi 1951, tetap saja mereka mengagungkan kedaulatan negara seraya serta merta mengabaikan hak asasi manusia sehingga banyak orang yg berniat masuk secara illegal ke wilayah Australia selalu diusir menjauh dari wilayahnya yg garis pantainya demikian Panjang;
2. Materi MOU UNHCR dengan pemerintah terkait proses penentuan seseorang asing sebagai pencari suaka dan atau sebagai pengungsi, harus merujuk secara taat kepada
Pasal 48 (1) UU.6/2011 tentang Keimigrasian yg mengatur bahwa : “Setiap orang asing yg berada di wilayah Indonesia wajib memiliki izin tinggal”. Hal ini jangan sampai penentuan status seseorang asing sebagai pencari suaka atau pengungsi itu hanya dilakukan oleh pihak UNHCR seorang diri. Jangan sampai UNHCR seolah memiliki kedaulatan mutlak untuk menggelar karpet merah bagi orang asing bermasalah keimigrasian dan untuk menjadi penduduk Indonesia yg tidak tersentuh hukum keimigrasian. Tentu saja hal seperti ini telah membuat cedera penegakkan/kedaulatan hukum keimigrasian.
(Dodi Karnida HA, Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulawesi Selatan 2020-2021)
Tidak ada komentar