Oleh : Dodi Karnida
Kita prihatin dengan terjadinya kebakaran yg melanda Gedung Direktorat Jenderal Imigrasi pada Kamis (08/12/2022). Walaupun kata salah satu pejabat yg bertanggung jawab atas gedung perkantoran Kemenkumham, kebakaran itu hanya melanda gudang BMN (penyimpanan barang bekas) di lantai 5, tetapi ternyata berdampak kepada gangguan sistem pelayanan keimigrasian, baik pelayanan terhadap WNI (paspor) maupun terhadap WNA (Visa & Izin Tinggal).
Tidak lama setelah kebakaran terjadi, terbit Siaran Pers Ditjen Imigrasi No. Sp/IMI/012/2022/03 yg menyatakan bahwa kebakaran yg titik awalnya berasal dari lantai 5 sekitar pkl.10.48 wib, menyebabkan pelayanan keimigrasian seperti proses persetujuan visa, izin tingga hingga M-Paspor menjadi terhambat.
Gangguan pelayanan keimigrasian ternyata benar-benar terjadi ketika rekan saya di Makassar yg jauh-jauh hari telah mempersiapkan permohonan paspor di Kantor Imigrasi (Kanim) Makassar secara Same Day Service (SDS) untuk pimpinannya seorang direktur BUMN, mengabarkan bahwa karena pimpinannya yg berKTP Makassar itu hanya 2 hari 2 malam di Makassar dan harus kembali ke Jakarta, maka permohonan paspornya akan dijadwal ulang di tempat lain. Penjadwalan ulang permohonan paspor tersebut dilakukan setelah dipastikan bahwa Imigrasi Makassar menyampaikan informasi adanya kendala pada sistem keimigrasian karena keadaan kahar (force majeur). Kemudian saya mencoba konfirmasi ke teman bagian pengurusan izin tinggal di kantor pusat, ternyata dia menyampaikan bahwa saat ini kami sedang dievakuasi keluar gedung sehingga pelayanan pasti terhambat.
Pelayanan keimigrasian yg terhambat karena gangguan sistem atau bahkan keadaan kahar (force majeur) pasti akan merugikan masyarakat seperti pemohon paspor di atas atau permohonan perpanjangan izin tinggal yg sebentar lagi akan berakhir masanya. Jika Ditjen Imigrasi kurang cermat, bisa saja ada orang asing yg dirugikan misalnya dikenai biaya beban/denda sebesar Rp. 1.000.000.- (satu juta) rupiah per hari dengan alasan permohonan terlambat dimasukkan (entry) oleh petugas ke dalam sistem karena sistem sedang ada gangguan sebagai akibat kebakaran dimaksud. Terhadap hal seperti ini tentu harus ada alasan pemaaf atau mekanisme peniadaan biaya beban karena keterlambatan data masuk ke dalam sistem bukan karena kesalahan pemohon/orang asing tersebut. Mekanisme peniadaan biaya beban karena force majeur dimaksud tentu dibuat dalam surat edaran dengan berbasis kepada aturan dari Kementerian Keuangan.
Direktorat Jenderal Imigrasi sejak tanggal 15 Oktober 2016 telah memiliki Gedung Disaster Recovery Center (DRC) di belakang Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar dan diresmikan oleh Dirjen Imigrasi saat itu DR. Ronny F. Sompie, SH., MH. Gedung ini berfungsi sebagai tempat penyimpangan sistem, aplikasi hingga data-data cadangan keimigrasian ketika terjadi gangguan yg serius atau bencana yg menimpa satu atau berbagai unit kerja keimigrasian seperti pusat penyimpanan dan pengolahan data dan informasi. Gedung DRC ini pernah juga ditinjau pada tanggal 18 Oktober 2021 oleh PLT. Dirjen Imigrasi saat ini yaitu Prof.Widodo Ekatjahjana ketika melakukan kunjungan kerja ke Rudenim Denpasar.
Selama ini dan semoga demikian selanjutnya, tidak ada gangguan yg berarti terhadap Sistim Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM) yg mengintegrasikan seluruh fungsi keimigrasian baik di dalam maupun di luar negeri itu. Dan oleh karenanya sudah saatnya Ditjen Imigrasi yg pada tahun 2022 ini mendapatkan pemasukan dari PNBP lebih dari 4 trilyun rupiah (dan pada tahun-tahun mendatang pasti akan lebih banyak lagi), diharapkan memiliki DRC lebih dari satu dan tidak berada di tempat yg sama.
Menurut hemat saya, besarnya PNBP dimaksud tentu akan sangat memiliki nilai positif jika digunakan untuk pengamanan kesisteman daripada membangun armada patrol laut yg tidak ada di dalam grand design Direktorat Jenderal Imigrasi. Jika memang diperlukan sekali membangun armada patroli laut guna penegakkan hukum keimigrasian, kiranya cukup berkolaborasi dengan unit kerja yg sudah ada seperti TNI AL, Bea Cukai atau Bakamla misalnya.
Terkait dengan pengamanan sistem keimigrasian ini saran saya antara lain sebagai berikut :
1. Membangun gedung kesisteman tersendiri dan steril, tidak digabung dengan bagian-bagian gedung yg difungsikan untuk kegiatan lain yg tidak memiliki relevansi dengan kesisteman imigrasi;
2. Gedung tersebut harus tahan/jauh dari gangguan bencana alam seperti kebanjiran, gempa bumi, kebakaran, terorime dan lain-lain;
3. Optimalisasi organ dan fungsi pengamanan internal obyek vital pada Direktorat Intelijen Keimigrasian.
DRC Denpasar menurut hemat saya masih kurang aman karena Denpasar termasuk daerah yg sering dilanda gempa bumi. Sehubungan dengan itu, kiranya harus sudah dipikirkan oleh Ditjen Imigrasi untuk membangun DRC kedua di Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur yg relatif aman dari ancaman gempa bumi maupun banjir. Jika ternyata di IKN kurang memungkinkan, maka bisa dibangun DRC di Banjarmasin tepatnya di Jl. Ahmad Yani (jalan protokol) yaitu di tanah bekas Kantor Imigrasi Banjarmasin yg saat ini dijadikan mess pegawai. Dengan pembangunan DRC Imigrasi kedua, saya yakin pengamanan sistem keimigrasian sangat terjamin khususnya menjelang Republik Indonesia berusia 100 tahun pada tahun 2045 nanti dan jajaran imigrasi berusia 95 tahun. Semoga hal ini menjadi kenyataan. Aamiin. _*(Dodi Karnida HA. Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulawesi Selatan Tahun 2020-2021)._
Tidak ada komentar