Oleh : Dodi Karnida
Bertempat di Balairung Seri Istana Negara atau yg dikenal sebagai Ruang Singgasana Negara Sabtu (03/12/22) pada pkl.15.00 waktu Kualalumpur di hadapan Raja Malaysia Yang Dipertuan Agong Al-Sultan Abdullah bersama Raja Permaisuri Agong Tunku Hajah Azizah Aminah Maimunah Isnkandariah, Kabinet Perdana Menteri Malaysia yaitu DR. Anwar Ibrahim (AI) bersumpah sebagai anggota kabinet. Pada tanggal 24 November 2022 lalu di tempat yg sama AI (sahabat karib Mr. Clean Indonesia Almarhum Mari’e Muhammad) telah dilantik sebagai PM Malaysia ke-10. Kabinet ramping ini terdiri (28 orang) yaitu PM, 2 Wakil PM dan 25 menteri yg salah satunya ialah keturunan Indonesia yaitu Menteri Dalam Negeri Saiffuddin Nasution.
Mungkin kita patut bersyukur karena terdapat diaspora Indonesia yg menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Malaysia namun sebenarnya hal ini bukan sesuatu yg baru atau aneh karena sebelumnya sudah banyak keturunan Indonesia yg menjadi pejabat tinggi pada pemerintahan Malaysia. Sebut saja Muhyidin Yassin (PM 2020-2021) yaitu anak dari M, Yasin B. Muhammad (Bugis) dan Hajjah Khadijah Kasim (Jawa), Tun Haji Abdul Razak, keturunan Raja Gowa-Sulawesi Selatan (PM 1970-1976), Najib Razak (PM 2009-2018), Tun Abdullah Bin H. Ahmad Badawi (PM 2003-2009), Sultan Sharafuddin Idris Shah Al-Haj (Sultan Selangor) sejak November 2001 dan beberapa pejabat tinggi lainnya baik di wilayah Semenanjung maupun di Sabah dan Sarawak.
Tanda tangan Saiffudin Nasution (SN) pasti sangat dinantikan oleh pejabat Indonesia dan sebagian masyarakat Indonesia khususnya yg tinggal di perbatasan darat Kalimantan Barat-Sarawak dan Kalimantan Utara-Sabah. Hal ini terkait dengan kewenangan SN sebagai menteri dalam negeri yg salah satu tugasnya bertanggung jawab langsung mengendalikan wilayah perbatasan dengan Indonesia.
SN sebagai menteri dalam negeri berwenang untuk menngesahkan dan membuka serta menutup titik-titik perbatasan dengan Indonesia baik perbatasan darat maupun laut, baik yg terletak di Semenanjung maupun di Sabah dan Sarawak. Kewenangannya itu terdapat dalam Border Crossing Agreement (BCA) Indonesia-Malaysia yg seyogyanya dapat ditandatangani pada tahun 2022 ini. Namun demikian nampaknya hal ini akan tertunda waktu eksekusinya karena mungkin saja penandatangan BCA tersebut bukan merupakan prioritas kerjanya sebagai menteri dalam negeri.
Pada halaman 12 dari 16 halaman dokumen Record of Discussion The 7th Meeting on The Review of Agreement Between The Government of Republic onf Indonesia And The Government of Malaysia on Border Crossing yg diselenggarakan di Bandung pada tanggal 8-10 Juni 2022, telah terdapat kolom yg harus ditandatangani masing-masing oleh Minister of Home Affairs Tito Karnavian dan Dato’ Seri Hamzah bin Zainudin (Mendagri Malaysia sebelumnya). Namun berdasarkan penelusuran penulis, sampai saat ini penandatanganan dokumen oleh kedua menteri dalam negeri itu belum terwujud sehingga BCA terbaru belum dapat diimplementasikan dan demikian juga dengan Border Trade Agreement (BTA) yg merupakan turunan dari BCA. Dengan adanya kabinet baru Malaysia khususnya tampilnya SN yg merupakan orang baru sebagai menteri dalam negeri, maka penandatanganan dan realisasi dari BCA dan BTA kemungkinan besar tidak dapat dilaksanakan pada tahun 2022 ini.
Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia telah melaksanakan Persidangan Ke-7 Review Border Crossing Agreement pada tanggal 8 – 10 Juni 2022 di Bandung, Indonesia. Perundingan terkait BCA ini mulai dibahas sejak tahun 2009 dan merupakan kelanjutan dari Persidangan Ke-6 tahun 2021 yang dilaksanakan secara virtual mengingat kondisi pandemi Covid-19 di kedua negara.
Di Bandung, delegasi Indonesia diketuai oleh Direktur Kawasan, Perkotaan dan Batas Negara Kemendagri Dr. Thomas Umbu Pati, M.Si, dan beranggotakan pejabat dari kementerian/lembaga antara lain Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Imigrasi), Kementerian Perdagangan serta perwakilan pemerintah daerah (Kepala Badan Pengelola Perbatasan/BPP Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara serta Kepulauan Riau). Adapun delegasi Kerajaan Malaysia diketuai oleh W. Husbi Bin W. Muhammad yang beranggotakan sekitar 20 orang dari kementerian dan lembaga yang menangani kebijakan lintas batas Kerajaan Malaysia.
Perjanjian BCA ini merupakan perjanjian yang penting bagi Indonesia dan Malaysia, sebagai landasan para pihak dalam menangani kegiatan lintas batas orang (masyarakat) dan barang di kawasan perbatasan kedua negara. Butir-butir perjanjian yang rampung dan disepakati ini selanjutnya harus ditandatangani oleh kedua menteri dalam negeri masing-masing.
Isi perjanjian ini sangat strategis, karena akan menjadi acuan dalam menentukan arah pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) dan menjadi rujukan bagi perjanjian Border Trade Agreement (BTA) antara Indonesia-Malaysia, dalam menangani aktivitas perdagangan lintas batas pada kawasan perbatasan kedua negara.
“Bahwa finalisasi kesepakatan Border Crossing Agreement ini akan menjadi referensi dasar dari perjanjian Border Trade Agreement (BTA) Indonesia-Malaysia. Sampai saat ini, draft Border Trade Agreement belum dapat disahkan, jika pembahasan Perjanjian BCA belum disepakati oleh Kedua Negara,” demikian pernyataan Direktur Kawasan, Perkotaan dan Batas Negara Kemendagri Dr. Thomas Umbu Pati, yang juga ketua delegasi perundingan Indonesia dalam sambutan pembukanya saat itu.
Persidangan ke-7 BCA ini sangat dinantikan oleh kedua negara terutama Indonesia, guna merampungkan beberapa pending issues dari hasil persidangan sebelumnya terutama terkait dengan pintu masuk/keluar atau entry/exit entry points dan area of access bagi masyarakat di Kawasan Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Disamping draft teks final hasil kesepakatan BCA kedua negara, terdapat lampiran kesepakatan 15 titik pintu masuk/keluar atau exit/entry points dan access area di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia yg dokumen tersebut disepakati sebagai ‘Living Document’, sehingga jumlah 15 pintu masuk/keluar tersebut dapat dilakukan penyesuaian sesuai perkembangan di masa yang akan datang.
Kedua delegasi telah merampungkan semua pasal yang berada dalam batang tubuh Perjanjian BCA dan lampirannya termasuk daftar pintu masuk/keluar dan area akses di Kawasan Perbatasan Indonesia-Malaysia (Kalimantan Barat-Sarawak, Kalimantan Utara-Sabah, Kepulauan Riau - Serawak).
Hal ini merupakan keberhasilan diplomasi tim perunding Indonesia setelah 13 tahun pembahasan review BCA ini berlangsung yg tidak lepas dari arahan Dr. Safrizal, ZA, M.Si, selaku Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri kepada delegasi Indonesia untuk dapat terus mengawal dan segera menuntaskan pembahasan review BCA tersebut untuk kepentingan masyarakat kedua negara.
Adapun penandatangan Review BCA RI-Malaysia oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia dan Menteri Dalam Negeri Malaysia direncanakan pelaksanaannya pada tahun 2022 menunggu kesepakatan waktu dari kedua negara, setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri kedua negara. Pada waktu yg hampir bersamaan, kedua negara juga telah berhasil menyelesaikan BTA yang saat ini dalam tahap mencari waktu yang pas untuk penandatanganan oleh kedua menteri perdagangan pada tahun 2022. Dengan begitu, maka pihak Indonesia dan Malaysia telah berhasil memasangkan dua perjanjian perbatasan antar negara, yaitu BCA dan BTA.
Dalam lampiran (Annexure) C BCA, terdapat List of Entry/Exit Points And Area of Access sebagai berikut :
Kalimantan Barat 1. Temajuk-Teluk Melano, 2. Serasan (laut)-Sematan, 3. Aruk-Biawak, 4. Jagoi Babang-Serikin, 5. Saparan-Padawan, 6. Entikong-Tebedu, 7. Segumon-Bunan Gega, 8. Sei Kelik-Batu Lintang, 9. Merakai Panjang-Batu Lintang, 10. Badau-Lubok Antu.
Kalimantan Utara 11. Long Midang-Ba’Kelalan dan Bario, 12. Long Midang-Long Pasia, 13. Liem Hie Djung dan Tunontaka-Tawau, 14. Sei Manggaris-Tawau dan 15. Labang-Pegalungan.
Jika kita perhatikan ke 15 pintu itu, yg termasuk Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) Darat yaitu pintu masuk dan keluar seseorang pemegang paspor kebangsaan adalah hanya 1. Aruk (Imigrasi Sambas/Kabupaten Sambas), 2. Entikong (Imigrasi Entikong/Kabupaten Sanggau) dan 3. Badau (Imigrasi Kapuas Hulu/Kabupaten Kapuas Hulu) yg semuanya berada di Kalimantan Barat dan 4. TPI Pelabuhan Laut Tunontaka (Imigrasi Nunukan/Kabupaten Nunukan) di Kalimantan Utara.
Ini artinya adalah jika seorang WNI tidak memiliki visa Malaysia maka atas Paspor RI yg berlalulintas melalui TPI (darat maupun laut) di atas, oleh imigresen Malaysia akan diterakan stempel kedatangan yg berbunyi “Permitted to enter and remain to Sabah (jika masuk ke Malaysia melalui Tawau) and West Malaysia for thirty (30) days on social visit only from the date shows above. Demikian sebaliknya, kita menyediakan fasilitas Bebas Visa Kunjungan (BVK) selama 30 hari kepada WN Malaysia pemegang paspor.
Merujuk kepada BCA di atas, maka selain penggunaan paspor kebangsaan masing-masing untuk berlalulintas melalui 4 TPI tersebut, khusus bagi para penduduk perbatasan, dapat berlalulintas menggunakan Pas Lintas Batas (PLB/Border Pass/BP) tetapi mereka hanya boleh mengunjungi daerah yg terbatas (area of access) sesuai BCA dimaksud yaitu rata-rata radius 5 km dan hanya untuk keperluan visiting relatives, socio-culture, border trade or government duty sebagaimana diatur dalam Article 3 (1b). Berdasarkan Article 6 BCA : Immigration Procedures At Entry/Exit Points And Law Enforcement angka (3), seorang pemegang PLB/BP dapat berulang kali masuk/keluar wilayah perbatasan dalam waktu paling lama 30 hari.
Ketentuan terkait lainnya adalah bahwa pemegang PLB Indonesia yg berkunjung ke Kuching (Sarawak) misalnya, atau ke Lahad Batu, Sandakan apalagi Kotakinabalu (Sabah) dapat dinyatakan sebagai telah melakukan pelanggaran keimigrasian. Demikian sebaliknya jika ada WN Malaysia pemegang BP berkunjung ke Pontianak (Kalimantan Barat) atau Tarakan (Kalimantan Utara) dapat diduga telah melanggar Ppasal 8 UU.6/2011 tentang Keimirgasian (tidak memiliki dokumen yg sah dan masih berlaku) dengan acaman pada Pasal 119 yaitu dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000.- (lima ratus juta rupiah). Jika hal ini terjadi, maka denda dimaksud akan menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kejaksaan dan bukan PNBP Direktorat Jenderal Imigrasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, catatan saya antara lain sebagai berikut :
1. Dalam Article 2: Definitions 1 For the purpose of this Agreement (a) “Authorized official” means any officer authorized by the Directorat General of Immigration, Ministry of Home Affairs of Malaysia or the Directorat General of Immigration, Ministry of Law and Humas Rights of The Republic of Indonesia. Saya yakin setiap pimpinan dan pegawai imigrasi kita menguasai hal-hal terkait dengan BCA dan BTA di atas termasuk hal yg berkaitan dengan Outstanding Boundary Problems (OBP) dan prinsip Uti Possidetis Juris peninggalan pemerintah kolonial Belanda dan Inggeris;
2. Jumlah pintu masuk/keluar di perbatasan Indonesia -Malaysia sebanyak 15 itu (113 pintu internasional di seluruh wilayah Indonesia) memerlukan personil dan anggaran (akomodasi dan transportasi) yg tidak sedikit sehingga kepala kantor imigrasi yg membawahinya harus dapat menghitung secara cermat rencana penganggarannya. Banyaknya jumlah entry/exit points ini pernah menjadi perdebatan dalam suatu rapat kordinasi perbatasan antara Almarhum Bapak Erwin Azis dari Ditjen Imigrasi dengan pejabat BPP Provinsi Kalimantan Barat. Almarhum menyampaikan bahwa Australia yg merupakan negara besar itu, jumlah pintu keluar/masuknya hanya sedikit karena mereka memperhitungkan faktor keamanan/kedaulatan negara dan untuk menggerakkan industri transportasi dalam negeri serta tidak banyaknya anggaran negara untuk penempatan personil di perbatasan. Sementara itu pejabat pemda dimaksud merujuk kepada konsep otonomi daerah sehingga merasa bahwa prinsip dimaksud harus dihormati;
3. Pemerintah pusat sebaiknya mencermati dinamika lapangan khususnya terhadap sikap pemerintah Malaysia dalam hal penerapan kebijakan BTA karena ada kalanya mereka tidak taat asas atas komitmen pembangunan Pos Lintas Batas. Sebagai contoh adalah pembangunan PLB Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang yg merupakan wilayah kerja Kantor Imigrasi (Kanim) Singkawang yg dibangun sejak tahun 2020 sampai saat ini belum dapat dioperasikan karena pihak Malaysia masih belum membuka pintunya yaitu Serikin sebagaimana tercantum dalam BCA di atas. Kalau toh juga pintu Serikin sudah dibuka, maka lalulintas WNI yg dilayani oleh Imigresen Malaysia hanyalah WNI pemegang PLB yg dikeluarkan oleh Kanim Singkawang yaitu mereka para pemegang KTP di daerah perbatasan saja sebagaimana dimaksud dalam BCA. Dengan kata lain, para WNI yg tidak memiliki KTP perbatasan (siapapun termasuk para pejabat dari ibu kota) tidak bisa berkunjung ke Pasar Serikin karena Kanim Singkawang tidak akan menerbitkan PLB kepadanya. Jika mereka bermaksud untuk datang ke Serikin, mereka harus memegang paspor yg di dalamnya telah diterakan tanda bertolak oleh Imigrasi Entikong dan tanda masuk oleh Imigrasi Tebedu. Demikian juga, seorang penduduk perbatasan pemegang PLB yg melintas di PLB Jagoibabang, maka ia tidak diperkenankan untuk bepergian ke Kuching yg jaraknya tidak jauh melainkan hanya boleh berada dan berkegiatan di daerah Serikin saja;
4. Terdapat dua PLB di Kalimantan Utara yaitu Long Nawang (Kecamatan Kayan Hulu, Kabupaten Malinau) dan Sungai Nyamuk (Kecamatan Sebatik) yg telah dibangun pemerintah Indonesia sesuai dengan kesepakatan dalam Pertemuan ke-5, tetapi tidak mendapat respon yg signifikan dari Pemerintah Malaysia karena tidak terlihat adanya pembangunan. Hal ini menjadikan Indonesia seperti bertepuk sebelah tangan sebagaimana halnya Jagoibabang-Serikin sehingga berikutnya, kita harus lebih waspada dan kakau perlu “menekan” pihak tetangga itu agar memiliki komitmen yg tinggi;
5. Saya dapat memahami bahwa hampir setiap kabupaten di perbatasan selalu mengajukan untuk dapat dibangunnya pintu perbatasan guna memudahkan masyarakat mendapatkan akses misalnya untuk menjual hasil usahanya, keperluan kunjungan keluarga (pesta adat/keagamaan), pendidikan atau kesehatan, tetapi hal tersebut bukan sesuatu yg mudah karena pembukaan pintu masuk/keluar itu harus memerlukan persetujuan dari negara tetangga disamping juga memerlukan anggaran yg tidak sedikit (pembangunan fisik, penempatan personil berikut akomodasi dan trasportasinya) serta memikirnya adanya potensi ancaman atas kedaulatan kita dan potensi menjadi jalur penyelundupan (orang, barang, atau binatang). Hal terbaik menurut hemat saya adalah dibangunnya jalan raya sepanjang perbatasan yg terbentang sepanjang garis perbatasan Kalimantan Barat sampai Kalimantan Utara yg dengan jalan tersebut diharapkan agar akses masyarakat menuju pintu perbatasan yg tersedia menjadi lebih mudah;
6. Berdasarkan informasi yg didapat dari media massa tentang kondisi terkini terkait PLB Jagoibabang, pada tanggal 29 Nopember lalu ada kunjungan pejabat pusat maupun pejabat dari Kalimantan Barat tetapi diantaranya ada yg memakai rompi dan topi berlogo Kementerian Pekerjaan Umum. Saya mengartikan bahwa Gedung Pos Lintas Batas Negara (PLBN) tersebut masih melekat ke Kementerian PU dan belum diserahterimakan kepada pengelolanya. Seingat saya, komplek perbatasan pihak Malaysia, pengelolaannya berada di bawah tanggung jawab Imigresen sedangkan PLBN kita menjadi Unit Pelaksana Teknis BPP Provinsi Kalimantan Barat/Utara. Menurut hemat saya, hal yg tepat adalah apabila PLBN ini merupakan UPT/Satuan Kerja dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) karena kurang pas jika UPT Pemda membawahi instansi vertikal yaitu CIQ dan Kepolisian. Penataan organisasi ini perlu dilakukan antara lain dalam hal penentuan mekanisme/hubungan kerja antara instansi, pengelolaan pengamanan di dalam komplek PLBN, penentuan area imigrasi dan kordinasi dengan pihak negara tetangga.
Semoga "Abang" Saiffudin Nasution sehat bahagia selalu agar dapat tempo yg sesingkat-singkatnya dapat segera membubuhkan tandatangannya pada dokumen BCA Tahun 2022. Aamiin
*(Dodi Karnida HA, Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulawesi Selatan Tahun 2020-2021)
Tidak ada komentar