Beranda
hukum
Internasional
Opini
Sorotan
NODA HITAM PUTIH DI PERBATASAN NEGARA
Dodi Karnida HA mendapatkan ucapan selamat
dari Presiden SBY di istana negara Tahun 2005

Oleh : Dodi Karnida
MA dan NN masih tertahan di Pnom Penh Kamboja karena sampai Rabu (11/10/23) belum mendapatkan jadwal untuk melakukan sesi foto guna mendapatkan dokumen perjalanan untuk pulang ke Indonesia yaitu Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dari KBRI setempat. Mereka sudah sekitar satu bulan menjerit karena terjerat di Poipet yaitu daerah perbatasan Thailand dan Kamboja. Di tempat itu sebelumnya mereka bekerja di perusahaan yang bergerak dalam permainan online berhadiah. Atas bantuan finansial kawan-kawannya di Indonesia, mereka sejak Kamis (05/10/23) telah meninggalkan Poipet dan pkl.18.53 wib sudah berada di halaman KBRI namun oleh penjaga malam diminta untuk datang pada hari kerja (Jumat, 06/10/23).

Menjeritnya mereka di negeri orang adalah karena terjerat oleh daya magnet Poipet yg ekonominya maju pesat, tetapi karena ada sengketa perburuhan, mereka kehilangan pekerjaan di perusahaan setempat. Mereka bersengketa dengan pimpinannya sehingga paspor keduanya berada dalam kekuasaan pimpinannya. Merantau di negeri orang tanpa paspor itu terjadi sejak 5 minggu lalu dan untuk mendapatkan paspornya, mereka diminta masing-masing menyediakan uang sebesar 50 juta rupiah yg tentu saja tidak dapat mereka penuhi sampai saat ini.

Saat ini bekal finansial mereka semakin menipis seperti yg diutarakan MA kepada saya via WA Rabu (11/10/23) pkl.14.12 wib. “Pak untuk SPLP tidak bisa bantu dipercepat ya pak. Karena benar-benar sudah tidak memiliki uang lagi pak”, ujarnya.

Menurut penuturannya, untuk mendapatkan jadwal foto SPLP waktunya yaitu 3x24 jam setelah laporan pengaduan ke KBRI diterima secara lengkap. Itu artinya, Kamis (12/10/23) merupakan jadwal mereka berfoto. Menurut hemat saya, waktu 3x24 jam adalah waktu yang diperlukan KBRI untuk melakukan verifikasi atas kasus mereka termasuk verfikasi atas keabsahan paspor mereka, data kependudukannya, dan penuntasan permasalahan dengan perusahaan tempat mereka bekerja sebelumnya. 

Jeritan mereka mungkin belum akan berhenti atau bahkan semakin menjadi-jadi. Untuk mendapatkan SPLP, harus mengeluarkan biaya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar US 7 dollar. Selain itu, untuk mendapatkan surat dari Polisi (mungkin semacam surat kelakuan baik, bebas dari perbuatan pidana selama berada di Kamboja), biayanya sekitar US 20 dollar dan Izin Berangkat (Exit Permit Only) dari Imigrasi setempat seharga US 30 dollar. Itu tidak termasuk biaya over stay (jika ada) yang tarifnya sebesar US 10 dollar per hari. 
Rincian biaya tersebut saya dapatkan dari MA dalam hubungan telepon Rabu (11/10/23) pagi ketika saya berada di depan rumahnya yang saya datangi di daerah Tambora-Jakarta Barat. Sayang sekali saya tidak dapat bertemu dengan Ibu/keluarganya yang sedang pulang kampung padahal kalau ibu itu ada, saya bisa membantu menghadapkannya kepada Heru Budi PLT. Gubernur DKI yang sedang ada kegiatan di kantor kelurahan setempat. Usaha saya membantu MA dan NN untuk memulangkannya ke tanah air, saat ini mungkin menunggu uluran tangan ibu anggota DPRD DKI (berasal dari daerah pemilihan tempat MA bertempat tinggal) yang saya temui ketika datang bersama rombongan PLT. GUbernur. Saya juga sudah mengajukan surat kepada PLT. Gubernur via ajudannya terkait permohonan bantuan finansial dimaksud dan tentu saja  berharap bantuan dari donator lainnya guna membeli 2 tiket pesawat Pnom Penh Jakarta seharga 7 juta rupiah.

Poipet (Provinsi Meanchey) yang termasuk wilayah Kamboja itu, merupakan kota yang berkembang pesat dan berbatasan langsung dengan Thailand. Jika seseorang pernah bertugas atau berkunjung atau rajin membaca ceritera tentang dinamika perbatasan negara, maka orang itu akan tahu tentang hitam putihnya suatu perbatasan negara. Dalam berita-berita,  dengan mudah bisa kita dapatkan informasi tentang penyelundupan rokok, BBM, makanan, minuman termasuk barang terlarang baik senjata maupun narkoba. Mungkin saja kegiatan perekonomian legal maupun illegal itu yang membuat Poipet berkembang pesat sehingga menjadi magnet berkekuatan tinggi yang mengundang banyak WNI untuk mengadu nasib di sana.

Di kota perbatasan seperti Poipet ini juga merupakan tempat favorit bagi orang asing untuk melakukan aktifitas. Orang asing itu bisa merupakan turis murni, pelaku penyelundupan (barang/orang), pemain judi atau pekerja dalam berbagai bidang jasa. Jika para pekerja asing berkegiatan di daerah perbatasan negara, bagi mereka urusan keimigrasian merupakan hal yang mudah dan murah. Ketika waktu izin tinggal orang asing di suatu negara akan segera berakhir, maka ia cukup menyeberang saja ke negara tetangga sebelah baik untuk kembali pada hari yang sama atau beberapa hari kemudian. Setelah mendapatkan izin tinggal yang baru, bisa saja orang asing itu kemudian lulus untuk mendapatkan izin tinggal dari Kantor Imigrasi Poipet untuk jangka waktu yang lama misanya 6 atau 12 bulan.

Tahun 1998-2001, saya pernah bertugas di perbatasan Nunukan Kalimantan Utara dan Tawau-Sabah Malaysia Timur yang dipisahkan oleh laut. Ketika pertama kali akan bertugas dalam Operasi Waspada akhir tahun di perbatasan laut, saya dibawa naik speed boat imigrasi dari Nunukan pada siang hari dan sorenya ketika air mulai pasang, kami harus melewati muara pertemuan air laut yang dari/ke Nunukan dan laut Sulawesi yang terbentang luas sehingga ombaknya luar biasa. Pada waktu itu juga saya pertama kali melihat secara langsung senjata M-16 yang dibawa anggota marinir pengawal kami untuk berlaga di daerah panas perbatasan laut antar negara yang banyak penyandera berasal dari Filipina Selatan. Hal yang membuat saya selalu bersyukur saat ini adalah ketika teringat, sudah sekitar 6 orang pegawai imigrasi yang mengendari speed boat saat itu, yang menemani naik speed boat maupun yang menemani bertugas di Pos Imigrasi Sungai Pancang di Pulau Sebatik-Indonesia; mereka telah berangkat duluan menghadap Yang Maha Kuasa.

Terkait dengan mekanisme kegiatan di perbatasan Indonesia-Malaysia, kita dan masyarakat perbatasan di Kalimantan pada khususnya, tentu berharap bahwa Border Trade Agreement (BTA) 24 Agustus 1970 dan Border Crossing Agreement (BCA, Bukittinggi, Jumat, 12/03/ 06/SBY-Abdullah Ahmad Badawi, Pak LAH) selalu diperbaharaui seiring dengan dinamika yang terjadi di lapangan. Hal ini sangat penting khsusnya menjelang tahun 2024 nanti yaitu terwujudnya Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur.   

Pembangunan daerah perbatasan negara itu sangat penting.  Pemerintah kita dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan pembaharuan sesuai dengan Instruksi Presiden 11/2019 tentang Percepatan Pembangunan 11 Pos Lintas Batas Negara  (PLBN) Terpadu dan Sarana Prasarana Penunjang Di Kawasan Perbatasan. Namun demikian ternyata ada PLBN yang telah dibangun belum dapat dibuka seperti PLBN Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat walaupun sudah siap dioperasikan sejak bulan Mei 2023. Hal ini terjadi karena kita masih bertepuk sebelah tangan sehubungan dengan pihak tetangga kita masih belum membangun kawasan perbatasan Serikin di Sarawak sekitar 40 km dari Kuching. Mungkin mereka masih menghitung secara cermat atas Hambatan, Tantangan, Gangguan dan Ancaman (HTAG) yang akan terjadi jika pintu perbatasan itu dibuka secara terburu-buru.
 
Pentingnya pembangunan di area perbatasan negara untuk melindungi kedaulatannya dapat kita lihat seperti perbatasan Amerika dan Mexico. Presiden Joe Biden saat ini meneruskan kebijakan Donald Trump untuk membangun pagar-pagar perbatasan yang kokoh. Demikian juga dengan pihak Malaysia yang pada awal tahun 2023 PM Anwar Ibrahim telah mengalokasikan dana tambahan pembangunan perbatasan di Kalimantan sebesar RM 1 miliar atau setara dengan Rp. 3,5 triliun untuk meningkatkan keamanan perbatasan di Sabah dan Sarawak. Kebijakan Malaysia itu seiring dengan pembanguan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara oleh Indonesia.

Noda hitam kegiatan di perbatasan Kalimantan Barat yang saya amati ketika bertugas di Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan Barat pada tahun 2010-2013, antara lain penyalahgunaan ketentuan BTA oleh para pemodal dari daerah kita. Satu orang pemodal membiayai beberapa tukang ojek untuk membeli barang sesuai ketentuan BTA (jenis dan volume barang dibatasi) tetapi karena yang belanja barang itu dilakukan oleh beberapa tukang ojek guna kepentingan satu orang pemodal, tentu hal tersebut menjadi tidak patut. 
Lain halnya yang terjadi di perbatasan Nunukan-Tawau. Yang gencar saat itu adalah penyelundupan rombeng (baju) bekas yang ternyata sempat membuat goyah industri tekstil di dalam negeri. 

Selain penyelundupan barang, tentu saja sering terjadi penyelundupan orang karena memang ada supply dan demand. Ada kebutuhan lapangan pekerjaan untuk mencari nafkah walaupun para pekerja kita itu harus berangkat ke negeri orang dengan berbagai resikonnya. Di negeri sebelah, memerlukan tenaga kerja seperti untuk industri kelapa sawit.

Noda putih perbatasan dapat dilihat dan dinikmati masyarakat jika kawasan perbatasan itu dikelola dengan baik. Pasar akhir pekan Serikin di Sarawak adalah contoh nyata. Pada akhir pekan, di sana banyak pedagang asal Jawa mengadu nasib berpadu dan berpacu dengan masyarakat adat tempatan untuk meraih Ringgit Malaysia. Pasar akhir pekan Serikin menjadi destinasi wisata baru yang pengunjungnya tidak hanya dari Kalimantan Barat dan Serawak saja, tetapi ada juga dari Brunei dan bahkan semenanjung Malaysia.

Bekerja di luar negeri secara ideal adalah jika pekerja itu memiliki job order dan kontrak kerja. Sudah dapat dipastikan bahwa jika banyak WNI (mayoritas dari Sumatera Utara) dipulangkan oleh KBRI Pnom Penh termasuk MA dan NN, karena mereka bekerja tidak dilengkapi dengan payung hukum pelindung hak-hak dasar mereka dan pedoman mereka untuk melaksanakan kewajibannya yaitu job order dan kontrak kerja.

(Dodi Karnida HA., Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan Tahun 2020-2021)

Tidak ada komentar