Oleh : Imam Shamsi Ali*
Hari-hari ini banyak di antara umat Islam
begitu senang dan bahagia karena Hagia Sophia, sebuah gedung yang bersejarah
dan telah bergonta ganti status, kembali akan mengalami perubahan status
(conversi) baru di tahun 2020 ini.
Hagia Sophia adalah bekas sebuah gereja
terbesar (Katedral) untuk Umat Kristen Bizantium dari tahun 537-1055. Lalu dari
1054 hingga tahun 1204 dirubah menjadi gereja Ortodoks Yunani. Pada tahun
1204-1261 gereja ini diambil alih oleh Agama Katolik Roma. Dari dari tahun 1261
hingga 1453 gereja ini kembali menjadi Katedral Kristen Ortodoks Yunani.
Pada tahun 1453 kota Konstantinopel jatuh
ke tangan Ottoman Empira (Khilafah Utsmaniyah) di bawah komando Al-Fatih Sultan
Mehmed II. Sejak itu gedung gereja ini dirubah menjadi masjid yang lebih
dikenal dengan nama Aaya Sophia mosque.
Belakangan dengan jatuhnya Ottoman Empira
atau Khilafah Utsmaniyah menjadikan Turki terjatuh ke dalam kekuasaan Kemal
Ataturk yang sekuler. Maka di bawah pemerintahannya masjid Aaya Sophia kembali
mengalami perubahan status dari sebuah masjid megah menjadi museum hingga Juli
2020 ini.
Di tahun-tahun terakhir inilah Turki
kembali dipimpin oleh politisi-politisi yang sadar agama, termasuk Erdogan yang
dianggap oleh sebagian Muslim sebagai simbol kepahlawanan Umat terhadap
berbagai ketidak adilan dunia.
Di bawah pemerintahan Erdogan kini gedung
bersejarah ini akan kembali mengalami perubahan status. Konon kabarnya
Pemerintahan Erdogan melalui proses di pengadilan memenangkan untuk merubah
Hagia Sophia dari sebuah musium menjadi masjid kembali seperti di zaman
keemansan Khilafah Utsmaniyah.
Rencana itu tentunya mengundang ragam
reaksi dunia. Umat Islam pastinya seperti yang diperkirakan (expectable)
umumnya senang, bahagia dan memuji keputusan pemerintahan Erdogan itu.
Sampai-sampai ada yang menyandingkan Erdogan dengan Al-Fatih, sang penakluk
Konstantinopel.
Sebagai seorang Muslim yang punya emosi dan
sentimen, termasuk emosi sejarah, tentu saya ikut senang dan bahagia melihat
Hagia Sophia kembali menjadi sebuah masjid. Apalagi jika perubahan musium ke
masjid itu dikait-kaitkan dengan ikatan emosi kemenangan Al-Fatih melawan
tentara Bezantium yang hebat saat itu.
Rencana konversi itu seolah menyimbolkan
kemenangan Turki dan Islam saat ini dalam menaklukkan kekuatan sekularisme
dunia, minimal di Turki. Bahwa dengan menjadinya Hagia Sophia sebagai masjid
seolah Islam berjaya mengalahkan kekuatan sekularisme.
Namun di sisi lain konversi ini juga
menimbulkan reaksi negatif dari banyak kalangan. Ada yang menganggap bahwa keputusan ini
melanggar etika huhungan antar manusia, khususnya antar pemeluk agama. Bahkan
ada yang menganggap jika konversi ini seolah perampasan hak beragama orang
lain.
Selain suara negatif dari UNESCO, Pimpinan
Katolik dunia (Paus Fransis) juga menyampaikan pernyataan sikap “menyayangkan”
dengan kata “merasa sakit” (pained) dengan konversi gedung tersebut dari sebuah
museum menjadi sebuah masjid.
Dunia Barat, dan banyak tokoh-tokoh agama
dunia menyuarakan bahwa konversi ini kembali bisa merenggangkan hubungan antar
pemeluk agama dunia.
Terlepas dari gonjang-ganjing dukungan atau
resistensi itu, saya pribadi kemudian mencoba merenungkan kembali tentang
konversi ini. Perenungan saya lebih banyak didorong oleh kenyataan bahwa Umat
saat ini sedang terlibat dalam kompetisi yang sengit dalam membangun imej dan
persepsi.
Selain isu persepsi, tentu sebagai Muslim
sebuah isu itu sangat mendasar untuk kita lihat dari perspektif agama atau
Syariah itu sendiri. Bagaimana sesungguhnya status rumah-rumah ibadah dalam
konteks peperangan? Dapatkah rumah-rumah ibadah dijadikan sebagai bagian dari
harta rampasan perang?
Rumah-rumah Ibadah dalam peperangan
Saya ingin memulai dengan melihat
kembali posisi Syariah dalam menyikapi
rumah-rumah ibadah, khususnya dalam konteks harta rampasan atau ghanimah. Hal
ini karena sebagian mengambil
kesimpulan bahwa gedung Hagia Sophia ini
merupakan bagian dari harta rampasan (ghanimah) pemenang perang Byzantium
ketika itu yang dikomandoi oleh Al-Fatih Sultan Mehmed II.
Saya mencoba mencari dalam beberapa rujukan
buku-buku Fiqh tentang status rumah-rumah ibadah dalam peperangan, apakah masuk
dalam kategori obyek yang menjadi bagian dari harta rampasan pemenang perang?
Atau rumah-rumah ibadah justeru memiliki status yang berbeda?
Dari penelusuran itu hampir saya tidak
menemukan jawaban yang pasti. Maka saya kemudian kembali kepada rujukan Utama
kita, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, maupun sirah Rasulullah maupun khulafa
Ar-Rasyidin. Dari penelusuran singkat dan sederhana itu, saya menyimpulkan
sebagai berikut:
Satu, ayat ayat Al-Quran mengingatkan bahwa
dalam peperangan rumah-rumah ibadah dilarang untuk dirusak (lihat Al-Hajj: 40).
Hal ini tentunya untuk menjaga hak agama lain. Kalau disentuh/dirusak saja
dilarang, bagaimana dengan merampasnya (dijadikan harta rampasan)?
Dua, bahwa Rasulullah SAW dalam peperangan
secara khusus melarang mengganggu/menyakiti mereka yang beribadah. Maka
pastinya larangan gangguan di sini
termasuk larangan mengambil alih rumah ibadah mereka.
Tiga, sejarah membuktikan bahwa bahwa para
sahabat yang melakukan penaklukan, baik di Timur maupun di Barat, justeru tidak
mengambil alih rumah-rumah ibadah orang lain ketika menaklukkan negeri
tertentu. Contoh-contoh itu dapat ditemukan dalam sejarah Islam. Lihat misalnya
sejarah penalukkan negeri Syam di bawah pemerintahan Umar Ibnu Khattab.
Empat, juga karena agama ini meyakini apa
yang disebut “religious freedom” (kebebasan beragama) bagi semua pemeluk agama.
Dan pastinya kebebasan beragama juga mengikat jaminan bagi mereka untuk
memiliki rumah-rumah ibadah.
Dan karenanya ketika sebuah negeri
ditaklukkan oleh pasukan Islam, penduduk negeri itu tidak dipaksa memeluk Islam
berdasarkan “laa ikraaha fid diin” (tiada paksaan dalam agama). Dan karena
mereka tetap dalam agama mereka maka logikanya rumah ibadah mereka juga tetap
dijamin eksistensinya.
Itulah beberapa pertimbangan syar’i dalam
menyikapi status rumah-rumah Ibadah dalam peperangan, termasuk dalam pembahasan
harta rampasan.
Perang persepsi
Selain isu Syariah tentunya kita juga
diingatkan kembali bahwa saat ini Umat sedang dalam peperangan sengit (state of
war). Peperangan itu bukan perang nuklir atau atom. Tapi peperangan persepsi
atau imej yang telah lama dilancarkan kepada agama dan Umat ini.
Terlepas dari status legal dari Hagia
Sophia, masyarakat internasional pastinya akan menangkap ini sebagai peluang
besar untuk membidik sasaran (targeting) Islam. Bahwa selama ini Islam
dipersepsikan sebagai agama yang memaksakan kehendak, memaksa orang lain untuk
memeluknya, bahkan merampas hak-hak orang lain.
Mereka yang memiliki itikad buruk itu tak
akan pernah peduli dengan status hukum, bahkan akan menutup mata terhadak
status kepemilikan dari gedung Hagia Sophia itu. Target mereka hanya satu.
Yaitu Islam adalah agama yang tidak menghormati agama lain dan selalu ingin
menang sendiri.
Konsekwensi selanjutnya, berhati-hati
dengan komunitas Muslim di negara-negara mayoritas non Muslim. Karena ketika
mereka berada pada status mayoritas mereka akan mengambil alih kepemilikan non
Muslim, termasuk rumah-rumah ibadah minoritas.
Saya teringat perjuangan teman-teman
Komunitas Muslim Indonesia di Belgia membeli gedung untuk dijadikan sebuah
masjid. Semua telah siap, termasuk dana dan gedungnya. Tiba-tiba saja transaksi
itu dibatalkan oleh otoritas. Semua ini menjadi bagian dari ketakutan (Phobia)
akan kebangkitan Islam dengan persepsi tadi.
Konversi gedung Hagia Sophia ini juga
pastinya akan dijadikan justifikasi bahkan bukti bagi mereka yang memiliki mata
negatif kepada agama ini bahwa benar Umat Islam itu tidak akan pernah
menghargai hak orang lain. Sekali lagi apakah mereka sadar atau tidak tentang
status legal kepemilikan gedung tersebut.
Dan karenanya saya sempat terpikir, dan
boleh jadi saya salah dalam hal ini, bahwa merubah gedung Hagia Sophia ini
menjadi masjid nampaknya dari sudut perang persepsi kurang menguntungkan.
Bahkan mudharatnya jauh lebih besar ketimbang manfaatnya.
Saat ini manfaatnya hanya untuk dipakai
ibadah oleh Umat Islam. Tapi benarkah itu dapat menjadi alasan Yang mendasar?
Karena kita kenal hanya beberapa meter dari gedung itu berdiri masjid Hijau
(Blue Mosque) yang megah.
Manfaat lain sesungguhnya hanya terkait
dengan emosi Umat. Bahwa Hagia Sophia adalah simbol kemenangan Islam atas
Kristen Bizantium ketika itu. Dan karenanya konversi gereja menjadi masjid saat
itu merupakan simbolisasi kemenangan . Simbol kemenangan Islam atas sekularisme
Turki.
Tapi benarkah hal ini esensial untuk sebuah
kemenangan? Saya tidak terlalu yakin dengan simbol-simbol yang terkadang jauh
dari substansi Sesungguhnya. Saya tidak terlalu yakin dengan konversi gedung
itu akan menjadikan Umat ini semakin jaya, mulia, dan menang.
Sebaliknya saya justeru khawatir justeru
ini menjadi alasan bagi dunia untuk semakin menekan pemerintahan Erdogan untuk
tujuan yang lebih besar. Yaitu kembali meruntuhkan capaian-capaian besar
Erdogan selama ini.
Kita akui bahwa secara domestik Erdogan
sangat berhasil mengembalikann wibawa Islam di negeri bekas pusat kekuasaan
Khilafan Utsmaniah (Ottoman Empire) itu. Islam kembali menjadi wajah
pembangunan negeri itu. Kalau hal ini saja dipertahankan bahwa diperkuat, akan
lebih bermakna ketimbang konversi sebuah gedung.
Apalagi dalam konteks Timur Tengah. Saat
ini tidak ada lagi negara Islam kecuali telah berada dalam cengkeraman bangsa
kuat lainnya. Dan kecurigaan saya konversi ini bisa dijadikan bagian dari alat
tekanan kepada Erdogan yang sama ini semakin menjadi-jadi.
Wakaf Sultan Al-Fatih
Asumsi saya di atas itu tentunya jika
memang gedung itu pernah diambil alih sebagai rampasan melalui kemenangan dalam
peperangan. Semua itu masuk dalam pembahasan ruang lingkup pembahasan yang
terbuka untuk dikritisi.
Tiba-tiba saja dalam dua tiga hari ini saya
menemukan postingan yang mengatakan bahwa Sesungguhnya gedung Hagia Sophia yang
ketika penaklukkan Bizantium ternato masih merupakan katedral Umat Kristen,
justeru memang telah dibeli oleh Sultan Al-Fatih Mehmed II secara pribadi.
Beliaulah kemudian mewakafkan gedung itu untuk dijadikan sebuah masjid,
sekaligus
berubah nama dengan Aya Sophia mosque.
Jika informasi ini akurat dan memang dapat
dibuktikan, dan nampaknya demikian, maka pastinya secara legal pengubahan
gedung itu dari musium menjadi masjid tidak akan bisa dipermasalahkan
(unchallenged). Karena realitanya memang milik Umat sebagai wakaf dari Sultan ketika
itu. Bukan rampasan. Tapi memang berubah kepemilikan melalui transaksi
pembelian.
Selain itu tentunya juga karena gedung itu
memang telah menjadi bagian dari negara Turki, yang secara hukum apapun,
memiliki hak penuh untuk menggunakannya sesuai keinginan dan kepentingannya.
Masalahnya kemudian apakah bijak bersikap
acuh dengan kekhawatiran-kekhawatiran orang lain? Apalagi dalam konteks dunia
global di mana semua manusia seolah menyatu dalam segala permasalahan yang
dihadapinya.
Dan yang terpenting harus disadari bahwa
sebuah aksi atau kebijakan di sebuah tempat (negara) dalam dunia yang hampir
tiada batas-batas lagi, pastinya akan berdampak di tempat (negara) lain. Itulah
realita dunia kita yang interconnected (saling bergantung).
Karenanya kebijakan Konversi musium itu
menjadi masjid akan berdampak pula kepada kerja-kerja Dakwah dan eksistensi
Umat di negara lain, khususnya di negara-negara mayoritas non Muslim.
Sekiranya saya punya hak suara, saya justeru lebih cenderung melihat gedung itu
tetap sebagai musium, tetapi menjadi bagian dari pengelolahan masjid Biru (Blue
Mosque). Selain tetap menjaga persepsi kelapangan dada Umat ini, sekaligus
secara cerdas telah mengambil alih kembali kepemilikannya sebagai bagian dari
masjid.
Saya ingin akhiri dengan argumentasi
sebagian Umat Islam yang mengatakan bahwa Umat punya hak merubah gedung itu
menjadi masjid karena Umat Kristiani merubah semua masjid-masjid megah di
Spanyol menjadi gereja.
Kepada mereka saya katakan, Islam tidak
mengajarkan membalas keburukan atau
kesalahan dengan keburukan dan kesalahan. “Iffa’ billati hiya ahsan” (responlah
dengan cara terbaik) tetap menjadi dasar moral Umat dalam menyikapi sebuah itu.
Atau benar apa yang pernah Michelle Obama
katakan: “when they go low, we go high”. Semoga!
New York, 14 Juli 2020
* Presiden Nusantara Foundation

Tidak ada komentar