Imam Shamsi Ali*
Saat ini umat Islam di seluruh dunia bersiap-siap
menyambut datangnya hari-hari penting di bulan haji. Bahkan saat ini pun musim
haji yang penuh hiruk pikuk itu telah mulai terasa. Penerbangan jamaah haji
dari berbagai negara dunia sudah dilakukan sejak beberapa waktu terakhir.
Haji memang adalah ibadah yang paling menghebohkan.
Tentu selain karena merupakan kewajiban sekali se umur hidup. Juga karena haji
itu memerlukan persiapan yang banyak. Apalagi dalam konteks Indonesia yang
antriannya di saat suasana tidak normal ini mencapai 99 tahun di beberapa
daerah.
Sehingga wajar ketika seseorang terpilih melaksanakan
ibadah ini menjadi kebahagiaan sekaligus kehormatan komunal yang besar. Di
berbagai daerah diekspresikan dengan berbagai tradisi yang berbeda.
Tapi yang pasti ada satu hal yang menarik dari
panggilan menunaikan ibadah haji ini dalam Al-Quran. Allah SWT tidak lagi
menggunakan kata spesifik “orang-orang beriman”, yang biasanya dipahami secara
konsensus sebagai panggilan kepada umat Islam.
Ketika Allah memanggil orang-orang beriman untuk
menunaikan ibadah haji, justeru penggilan itu bersifat kemanusiaan. Panggilan
yang bersifat universal, seolah tanpa batas.
Hal ini dapat kita lihat pada ayat-ayat
berikut:
“Dan kumandangkan kepada ‘manusia’ untuk menunaikan
ibadah haji. Niscaya mereka akan datang kepadamu berjalan kaki atau dengan
onta-onta jinak. Mereka datang dari tempat-tempat yang jauh”. (S. Al-Haj: 28).
“Dan bagi Allah atas ‘manusia’ untuk menunaikan ibadah
haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu melakukannya” (S. Ali Imran: 97).
Penyebutan “an-naas” dalam ayat-ayat haji di atas
merupakan indikasi jelas akan panggilan universal ini. Sekaligus deklarasi umum
bahwa Islam adalah “hudan lin-naas” atau petunjuk universal bagi seluruh manusia.
Panggilan universal kemanusiaan ini juga sekaligus
menggaris bawahi persaudaraan universalitas dalam Islam. Bahwa dalam Islam
semua manusia itu bersaudara secara asal. Semua berasal dari Adam dan Hawa. Dan
Adam berasal dari tanah.
Panggilan universalitas ini juga sekaligus mengingatkan
saya tentang rasisme dan tendensi meningginya “White Supremacy” di dunia Barat.
Seolah manusia terkotak dan nilainya ada pada ras dan warna kulitnya.
Panggilan kemanusiaan universal juga mengingatkan
universalitas “kesetaraan manusia” (human equality” yang pernah dideklarasikan
Rasul Allah, Muhammad SAW, di Padang Arafah. Bahkan jauh sebelum Komisi HAM
melakukan hal sama hanya diabad lalu.
Secara khusus, amalan-amalan haji pada galibnya
berhubungan dengan Nabi Allah Ibrahim AS. Juga sebuah indikasi bahwa Islam itu
adalah dasar dari agama-agama monoteisme. Ibrahimlah pertama kali yang
sesungguhnya mengumumkan jika umat monoteis itu bernama “Muslim”.
“Dialah (Ibrahim) yang pertama kali menamaimu Muslim”
(Al-Quran).
Dengan haji umat Islam akan terus menyadari dan
memperjuangkan kesetaraan kemanusiaan itu. Dengan haji umat juga tersadarkan
bahwa semua orang dalam agama ini memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Sekaligus memilii peluang yang sama untuk menjadi “the best” (terbaik).
Jika di Amerika ada slogan “equal opportunity” atau
peluang yang sama dalam dunia, maka di agama ini peluang sama itu juga ada
dalam segala hal. Termasuk peluang menjadi yang terbaik dan termulia.
“sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di
sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (Al-Hujurat: 13).
Pesan-pesan haji akan kembali mengingatkan dan
membangun kesadaran itu. Bahwa Islammu tidak ditentukan oleh kebangsaan dan
rasmu. Tapi oleh iman, karakter dan karyamu. Kesemunya menyatu dalam satu kata:
TAQWA.
Sebuah terminologi yang tidak didefenisikan oleh
apapun, kecuali hati (iman), karya (amal) dan karakter kepribadian (akhlak)
manusia.
Dan haji yang diterima dengan sebutan “mabrur” itu
ditandai oleh hadirnya perubahan hidup manusia dalam iman, amal, akhlaknya.
Semoga jamaah haji kita dikaruniai kemabruran dalam berhaji. Amin!
(Bersambung....)
Udara Doha-NYC, 29 Juni 2022
* Presiden Nusantara Foundation
Tidak ada komentar