hukum nasional Opini Sorotan

Kerugian Negara Dalam Membayar Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh (KCJB), Rakyat Yang Terkena Imbasnya

November 14, 2025
0 Komentar
Beranda
hukum
nasional
Opini
Sorotan
Kerugian Negara Dalam Membayar Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh (KCJB), Rakyat Yang Terkena Imbasnya

Oleh : Andi Amien Assegaf 

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang kini beroperasi dengan nama komersial "Whoosh", merupakan salah satu megaproyek infrastruktur terbesar di Indonesia.
 
Diluncurkan pada 2015 sebagai kerja sama antara Indonesia dan China melalui konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), proyek ini awalnya direncanakan menelan biaya Rp59,9 triliun (sekitar US$4,3 miliar). Namun, hingga 2025, biaya membengkak menjadi lebih dari Rp114 triliun (sekitar US$7,3 miliar), dengan porsi utang dari China Development Bank (CDB) mencapai 75% atau sekitar US$5,5 miliar. Kerugian negara semakin nyata ketika pemerintah terpaksa menanggung beban pembayaran utang ini melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Artikel ini membahas kerugian finansial, ekonomi, dan strategis yang ditimbulkan bagi Indonesia.

1. Pembengkakan Biaya dan Penyuntikan Modal dari APBN
Awalnya, proyek KCJB dijanjikan sebagai skema *business-to-business* (B2B) tanpa melibatkan APBN atau jaminan pemerintah. Namun, kenyataannya berbeda:

- Cost overrun mencapai 90% dari estimasi awal, disebabkan oleh  keterlambatan konstruksi, perubahan desain, inflasi material, dan masalah lahan.

- Pada 2023–2025, pemerintah menyuntikkan dana APBN sebanyak Rp7,2 triliun melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke PT Kereta Api Indonesia (KAI). Ini termasuk Rp3,2 triliun pada 2023 dan tambahan Rp4 triliun pada 2024–2025.

- Kerugian langsung
Dana APBN yang seharusnya untuk pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur lain dialihkan ke proyek yang belum menghasilkan keuntungan signifikan. Hingga Oktober 2025, Whoosh baru mengangkut sekitar 5–6 juta penumpang per tahun, jauh di bawah target 31 juta penumpang untuk mencapai "break even point".

2. Beban Pembayaran Utang dan Bunga yang Membebani
Utang KCJB mayoritas berdenominasi dolar AS dengan suku bunga mengambang (berbasis LIBOR/SOFR + margin). Kondisi ini menciptakan kerugian berlipat:

- Nilai tukar rupiah: Sejak 2019, rupiah melemah dari Rp14.000/US$ menjadi Rp15.800/US$ (November 2025). Ini meningkatkan beban pokok utang hingga 12–15% dalam rupiah.

- Bunga tahunan
Estimasi bunga mencapai US$200–300 juta per tahun (Rp3–4,5 triliun). KCIC kesulitan membayar karena pendapatan tiket Whoosh hanya Rp1,5–2 triliun per tahun (data 2024–2025).

- Risiko default
Jika KCIC gagal bayar, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas (60% melalui BUMN) wajib menanggung melalui APBN. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2024 menyatakan potensi kerugian negara hingga Rp20 triliun jika proyek gagal total.

3. Rendahnya Okupansi dan Ketergantungan Subsidi
Whoosh beroperasi sejak Oktober 2023, tetapi performanya di bawah ekspektasi:

-Tingkat okupansi
Rata-rata 60–70% pada 2024–2025, dengan harga tiket Rp300.000–600.000 per perjalanan. Ini hanya melayani segmen premium, sementara mayoritas masyarakat Jakarta-Bandung menggunakan kereta konvensional atau bus (biaya Rp50.000–150.000).

- Subsidi terselubung: Pemerintah memberikan insentif pajak, pembebasan lahan gratis (nilai Rp10 triliun), dan tarif listrik khusus. Tanpa ini, tarif Whoosh bisa naik 30–50%, semakin menurunkan penumpang.

- Kerugian oportunitas
Dana untuk Whoosh bisa membangun 500 km jalur kereta double-track di luar Jawa, yang lebih berdampak pada konektivitas nasional.

4. Ketergantungan pada China dan Risiko Geopolitik
Proyek ini menjadi "jebakan utang" (*debt trap*) klasik:

- Kontrol teknologi
100% teknologi dari CRRC China; Indonesia hanya mendapat transfer pengetahuan minim. Biaya perawatan tahunan Rp1–2 triliun bergantung pada suku cadang impor.

- Negosiasi ulang utang
Pada 2025, pemerintah meminta perpanjangan tenor dari 40 menjadi 50–60 tahun, tetapi China menuntut jaminan tambahan. Ini meningkatkan total bunga jangka panjang hingga Rp50 triliun.

- Dampak diplomatik
Ketergantungan ini melemahkan posisi tawar Indonesia di isu Laut China Selatan atau perdagangan.

5. Dampak Ekonomi Makro dan Sosial

- Inflasi APBN
Pembayaran utang Whoosh berkontribusi pada defisit fiskal 2025 yang diproyeksi 2,8% PDB. Ini memaksa kenaikan pajak atau pemotongan belanja sosial.

- Ketimpangan regional
Proyek hanya menghubungkan Jakarta-Bandung (jarak 142 km), sementara 70% wilayah Indonesia kekurangan infrastruktur dasar.

- Lingkungan
Pembangunan merusak 1.000 hektar lahan produktif dan hutan, dengan emisi karbon konstruksi setara 500.000 ton CO₂—kontradiktif dengan komitmen Net Zero Emission 2060.

-Pemangkasan Anggaran Proyek Kesejahteraan Rakyat
Tindakan pemerintah membayar utang proyek kereta cepat tentunya akan menyebabkan pergeseran anggaran dalam APBN ke depan, anggaran untuk  subsidi masyarakat, kesehatan masyarakat miskin, penndidikan dan proyek peningkatan kesejahteraan lainnya terancam akan mengalami pemangkasan anggaran. 

Kesimpulan :

Kerugian negara dari pembayaran utang Whoosh bukan sekadar angka Rp114 triliun, melainkan hilangnya peluang pembangunan berkelanjutan, beban fiskal jangka panjang, dan ketergantungan strategis. Pemerintah perlu melakukan audit menyeluruh oleh BPK, renegosiasi utang secara transparan, dan diversifikasi pendapatan KCIC (misalnya integrasi dengan properti TOD). Tanpa langkah ini, Whoosh berisiko menjadi "monumen kegagalan" yang dibayar mahal oleh rakyat Indonesia. Data di atas bersumber dari laporan Kementerian Perhubungan, BPK, dan analisis Bank Dunia (2024–2025).

Andi Amien Assegaf, penulis adalah aktivis HAM,Ketua LP3M, peneliti dari Indonesia investigation Corruption (IIC)

Tidak ada komentar